sejarah perkembangan tasawuf dari abad 1 sampai 10
Pertama bagaimanakah perkembangan jalinan mata rantai pesantren di Jawa Timur pada tahun 1900-1942. Kedua, bagaimanakah proses penyebaran tra-disi keilmuan Islam berlangsung dan pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran masyarakat. Ketiga, bagaimanakah perkembangan tarekat di Jawa Timur abad XX. Keempat, bagaimanakah hubungan pesantren
Dengandemikian pada abad kelima Hijriah, Tasawuf sunni berada dalam posisi yang sangat menentukan dan memungkinkan tersebar luas di kalangan masyarakat Islam sampai sekarang.1[1] Tasawuf sunni ialah aliran tasaawuf yang berusaha memadukan asapek hakekat dan syari'at, yang senantiasa memelihara sifat kezuhudan dan mengkonsentrasikan
Gamelanmerupakan alat musik ansambel yang terbuat dari logam serta gambang, gendang, dan gong. Sejarah musik gamelan sendiri cukup unik. Gamelan telah berkembang di masa kerajaan pada abad ke-8 hingga ke-11. Pada masa itu gamelan berkembang di kerajaan Hindu dan Buddha di wilayah Sumatra, Bali, dan Jawa. Baca Juga: Cinta Tanah Air, Agnez Mo
A Filologi di Eropa. Ilmu filologi berkembang di kawasan kerajaan Yunani, yaitu di kota Iskandariyah di benua Afrika pantai utara. 1. Awal Pertumbuhannya (3 SM - 4 M) Awal kegiatan filologi di kota Iskandaria oleh bangsa Yunani pada abad ke-3 S.M. dengan membaca naskah Yunani lama yang mulai ditulis pada abad ke-8 S.M. dalam huruf Yunani
ProfDr. Hamka berpendapat bahwa ; "Tasawuf itu telah ada sejak datangnya agama Islam itu sendiri, bertumbuh di dalam jiwa pendiri Islam yaitu Nabi Muhammad SAW yang bersumber dari al-Quran". Adapun kata "Tasawuf" muncul dipertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyim al-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan kata al-Sufi dibelakang namanya.
Site De Rencontre Femme Entre Femme. – Tasawuf merupakan perwujudan dari salah satu ketiga pilar syari‟at tersebut, yakni Ihsan. Tasawuf adalah bagian dari syari’at Islam, atau dengan kata lain bahwa Syari’at Islam juga memuat ajaran tentang tasawuf. Dengan ini, maka mendeiskrditkan tasawuf atau kajian atasnya merupakan hal yang kurang benar, sebab mereka dalam syari’at Islam menduduki porsi dan posisi yang sama dengan kedua pilar Islam lainnya. Namun yang ironis, dalam realitanya penganaktirian tersebut terjadi, baik dengan memberikan stereotip negative terhadapnya maupun meninggalkan kajian mendalam atasnya. Mereka lebih suka dan nyaman mengkaji fiqih Islam dan kalam atau tauhid Iman. Istilah tasawuf tidak dikenal pada masa kehidupan Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Istilah itu baru muncul ketika Abu Hasyim al- Kufy w. 250 H meletakkan kata al-Sufi dibelakang namannya pada abad ke 3 Hijriyah. Menurut Nicholson, sebagaimana yang dikutip oleh Amin Syukur, sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, tawakkal, dan dalam mahabbah, namun mereka tidak menggunakan atau mencantumkan kata al-sufi. Jadi tetap Abu Hasyim orang yang pertama memunculkan istilah itu. Sejarah Masa Pembentukan Tasawuf Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa pada masa awal Islam [nabi dan khulafaur Rasyidin] istilah tasawuf belum dikenal. Meski demikian, bukan berarti praktek seperti puasa, zuhud, dan senadanya tidak ada. Hal ini dibuktikan dengan perilaku Abdullah ibn Umar yang banyak melakukan puasa sepanjang hari dan shalat atau membaca al-Qur’an di malam harinya. Sahabat lain yang terkenal dengan hal itu antara lain Abu al-Darda, Abu Dzar al-Ghiffari, Bahlul ibn Zaubaid, dan Kahmas al-Hilali. Pada paruh kedua Abad ke-1 Hijriyah, muncul nama Hasan Basri 642-728M, seorang tokoh zahid pertama dan termasyhur dalam sejarah tasawuf. Hasan Basri tampil pertama dengan mengajarkan ajaran khauf takut dan raja’ berharap, setelah itu diikuti oleh beberapa guru yang mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohaniahan dikalangan muslimin. Ajaran-ajaran yang muncul pada abad ini yakni khauf, raja’, ju’ sedikit makan, sedikit bicara, sedikit tidur, zuhud menjauhi dunia khalwat menyepi, shalat sunnah sepanjang malam dan puasa disiang harinya, menahan nafsu, kesederhanaan, memperbanyak membaca al- Qur’an dan lain-lainnya. Para zahid ketika ini sangat kuat memegang dimensi eksteral Islam Syari’ah dan pada waktu yang sama juga menghidupkan dimensi internal Bathiniyyah. Kemudian pada abad II Hijriyah, muncul zahid perempuan dari Basrah-Irak Rabi‟ah al-Adawiyah w. 801M/185 H. Dia memunculkan ajaran cinta kepada Tuhan Hubb al-Ilah. Dengan ajaran ini dia menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah Swt tanpa atau menghilangan harapan imbalan atas surga dan karena takut atas ancaman neraka. Pada abad ini tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya, yakni bercorak kezuhudan. Meski demikian, pada abad ini juga mulai muncul beberapa istilah pelik yang antara lain adalah kebersihan jiwa, kemurnian hati, hidup ikhlas, menolak pemberian orang, bekerja mencari makan dengan usaha sendiri, berdiam diri, melakukan safar, memperbanyak dzikir dan riyadlah. Tokoh yang mempernalkan istilah ini antara lain Ali Syaqiq al-Balkhy, Ma’ruf al- Karkhy dan Ibrahim ibn Adham. Sejarah Masa Pengembangan Tasawuf Masa pengembangan ini terjadi pada kurun antara abad ke-III dan ke-IV H. Pada kurun ini muncul dua tokoh terkemuka, yakni Abu Yazid al-Bushthami H. dan Abu Mansur al-Hallaj w. 309 H.. Abu Yazid berasal dari Persia, dia memunculkan ajaran fana’ lebur atau hancurnya perasaan, Liqa’ bertemu dengan Allah Swt dan Wahdah al-Wujud kesatuan wujud atau bersatunya hamba dengan Allah Swt. Sementara Al-Hallaj menampilkan teori Hulul inkarnasi Tuhan, Nur Muhammad dan Wahdat al-Adyan kesatuan agma- agama. Selain itu, para sufi lainnya pada kurun waktu ini juga membicarakan tentang Wahdat al-Syuhud kesatuan penyaksian, Ittishal berhubungan dengan Tuhan, flamal wa Kamal keindahan dan kesempurnaan Tuhan, dan Insan al-kamil manusia sempurna. Mereka mengatakan bahwa kesemuanya itu tidak akan dapat diperoleh tanpa melakukan latihan yang teratur Riyadhah. Selain munculnya tasawuf yang cenderung pada syathahiyat, sejenis ungkapan-ungkapan ganjil atau ekstatik, dan semi-falsafi yang dimandegani oleh dua tokoh di atas, pada kurun ini juga mulai muncul gerakan banding yang dimandegani oleh Syeikh Junaid al- Baghdadi. Dia memagari ajaran-ajaran tasawufnya dengan al-Qur‟an dan al-Hadis dengan ketat dan mulai meletakkan dasar-dasar thariqah, cara belajar dan mengajar tasawuf, syeikh, mursyid, murid dan murad. Dengan kata lain, pada kurun ini muncul dua madzhab yang saling bertentangan, yakni madzhab tasawuf Sunni al-Junaid dan madzhab Tasawuf semi-Falsafi Abu Yazid dan al-Hallaj. Perlu diketahui pula bahwa pada kurun ini tasawuf mencapai peringkat tertinggi dan jernih serta memunculkan tokoh-tokoh terkemuka yang menjadi panutan para sufi setelahnya. Masa Konsolidasi Tasawuf Masa yang berjalan pada kurun abad V M. ini sebenarnya kelanjutan dari pertarungan dua madzhab pada kurun sebelumnya. Pada kurun ini pertarungan dimenangkan oleh madzhab tasawuf Sunni dan madzhab saingannya tenggelam. Madzhab tasawuf Sunni mengalami kegemilangan ini dipengaruhi oleh kemenangan madzhab teologi Ahl Sunnah wa al-flama’ah yang dipelopori oleh Abu Hasan al- Asy’ari w. 324 H. Dia melakukan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid dan al-Hallaj sebagaimana yang tertuang dalam syathahiyat mereka yang dia anggap melenceng dari kaidah dan akidah Islam. Singkatnya, kurun ini merupakan kurun pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasan awalnya, al-Qur’an dan al-Hadis. Tokoh-tokoh yang menjadi panglima madzhab ini antara lain Al- Qusyairi 376-465 H, Al-Harawi w. 396 H, dan Al-Ghazali 450- 505H. Al-Qusyairi adalah sufi pembela teologi Ahlu Sunnah dan mampu mengompromikan syari’ah dan hakikah. Dia mengkritik dua hal dari para sufi madzhab semi-falsafi, yakni syathahiyat dan cara berpakaian yang menyerupai orang miskin padahal tindakan mereka bertentangan dengannya. Menurut al-Qusyairi kesehatan batin dengan memegang teguh ajaran al-Qur’an dan al-Hadis lebih penting dripada pakaian lahiriyah. Tokoh kedua ialah Al-Harawi. Dia bermadzhab Hanabilah, maka tidak heran jika dia bersikap tegas dan tandas terhadap tasawuf yang dianggap menyeleweng. Hal yang dikritik oleh Al-Harawi atas ajaran tasawuf semi-falsafi adalah ajaran fana’ yang dimaknai sebagai kehancuran wujud sesuatu yang selain Allah Swt. Kemudian dia memberikan pemaknaan baru atas fana‟ tersebut dengan ketidaksadaran atas segala sesuatu selain yang disaksikan, Allah Swt. Selain itu, Al- Harawi juga mengkritik syathahiyat. Terkait ini dia menyatakan bahwa syathahiyat hanya muncul dari hati seseorang yang tidak tentram atau ketidaktenangan. Kemudian tokoh yang terakhir ialah Al-Ghazali. Dia merupakan tokoh pembela teologi sunni terbesar, bahkan lebih besar dibanding sang pendirinya, Abu Hasan Al-Asy’ari. Al-Ghazali menjauhkan ajaran tasawufnya dari gnostis sebagaimana yang mempengaruhi para filosog muslim, sekte Isma’iliyah, Syi’ah, Ikhwan Shafa dan lain-lain. Ia juga menolak konsep ketuhanan Aristoteles, yakni emanasi dan penyatuan. Terkait teori kesatuan, al-Ghazali menyodorkan teori baru tentang ma’rifat dalam taqarrub ila Allah, tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Sejarah Masa Tasawuf Falsafi Pada masa abad VI dan VII H ini muncul dua hal penting yakni; Pertama, kebangkitan kembali tasawuf semi-falsafi yang setelah bersinggungan dengan filsafat maka muncul menjadi tasawuf falasafi, dan kedua, munculnya orde-orde dalam tasawuf thariqah. Tokoh utama madzhab tasawuf falasafi antara lain ialah Ibnu Arabi dengan wahdat al-Wujud, Shuhrawardi dengan teori Isyraqiyyah, Ibn Sabi’n dengan teori Ittihad, Ibn Faridh dengan teori cinta, fana’ dan Wahdat al-Syuhud-nya. Sementara orde-orde tasawuf yang muncul pada kurun ini terutama pada abad ke VII H antara lain 1 Tarekat Qadiriyyah, didirikan oleh Abd al-Qadir Jailani w. 1166 M. dan berpusat di Baghdad. 2 Tarekat Naqshabandiyah, didirikan oleh Muhammad ibn Baha’ al-Din H. dan didirikan di Asia Tengah. 3 Tarekat Maulawiyah Rumiyah, didirikan oleh Jalal al-Din Rumi w. 1273 M, Persia. 4 Tarekat Bekhtasyiyah, didirikan oleh al- Bekhtasyi, Turki. 5 Tarekat Tijaniyah, oleh al-Tijani pada tahun 1781 M di Fez Maroko. 6 Tarekat Daraquiyah, oleh Maulana Arabi Darqawi w. 1823 M. di Fez-Maroko. 7 Tarekat Khalwatiyah, didirikan di Persia pada abad 13 M. 8 Tarekat Suhrawardiyah, oleh Suhrawardi al-Maqthul di Irak. 9 Tarekat Rifa’iyah, oleh al-Rifa’i w. 1187 M di Irak. 10 Tarekat Sadziliyah, oleh al-Sadzili w. 1258 M. di Tunis. 11 Tarekat Khishtiyah, oleh Mu’in al-Din Chisthi di Ajmer- India. 12 Tarekat Sanusiyah, oleh al-Sanusi w. 18377 M di Libya. 13 Ttarekat Ni‟matulahiyah, didirikan di Persia dan kemudian di India Isma‟iliyyah. 14 Tarekat Ahmadiyah, oleh Ahmad al-Badawi w. 1276 M. di Mesir dengan pusat di Tanta. Masa Pemurnian Menurut Arberry sebagaimana dikutip Amin Syukur, pada Ibn „Arabi, Ibn Faridh, dan ar-Rumi adalah masa keemasan gerakan tasawuf baik secara teoritis maupun praktis. Pengaruh dan praktek- praktek tasawuf tersebar luas melalui tarekat-tarekat. Bahkan para sultan dan pangeran tidak segan-segan lagi mengeluarkan perlindungan dan kesetiaan pribadi kepada mereka. Meski demikian, lama kelamaan timbul penyelewengan-penyelewengan dan skandal-skandal yang berakhir pada penghancuran citra baik tasawuf itu sendiri. Singkatnya, pada waktu itu tasawuf dihinggapi ,menurut pandangan Arberry, bid’ah, khurafat, klenik, pengabaian Syari’at, hokum-hukum moral, dan penghinaan ilmu pengetahuan. Dengan fenomena di atas, munculah Ibn Taimiyah yang dengan lantang menyerang ajaran-ajaran yang dia anggap menyeleweng tersebut. dia ingin mengembalikan kembali tasawuf kepada sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Hadis. Hal yang dikritik Ibn Taimiyah antara lain ajaran Ittihad, hulul, wahdat al-Wujud, pengkultusan wali dan lain-lain yang dia anggap bid‟ah, khurafat, dan takhayyul. Dia masih memberikan toleransi atas ajaran fana’, namun dengan pamaknaan yang berbeda. Dia membagi fana’ menjadi tiga bagian, yakni 1 fana’ Ibadah, lebur dalam ibadah, 2 fana’ syuhud al-Qalb, fana’ pandangan batil, dan 3 fana’ wujud mas Siwa Allah, fana’ wujud selain Allah. Menurutnya, fana’ yang masih sesuai dengan ajaran Islam ialah jenis fana’ yang pertama dan kedua, sementara jenis fana’ yang ketiga sudah menyeleweng dan pelakunya dihukumi kafir, sebab ajaran tersebut beranggapan bahwa wujud Khaliq‟ adalah wujud Makhluq. Kemudian, secara garis besar, ajaran tasawuf Ibn Taimiyah tidak lain ialah melakukan apa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti madzhab tarekat tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan social sebagaimana kalayak umum. Baca juga Sejarah Tasawuf di Indonesia Demikian penjelasan tentang sejarah tasawuf. Semoga menabah wawasan saudara, amin….
Imam Al-Ghazali, seorang ulama dan sufi terkenal pada abad kelima Hijriyah A. Pendahuluan Tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu dalam Islam yang menekankan pada aspek spiritual dan kebersihan batin. Dalam kaitannya dengan diri manusia, tasawuf adalah ilmu untuk mengelola aspek rohaninya yang lebih sering disebut dengan hati atau qalbu. Dalam kaitannya dengan kehidupan, ilmu ini mengarahkan manusia untuk lebih memprioritaskan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia. Sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, tasawuf lebih cenderung mengkaji aspek esoterik dari pada eksoterik, lebih menekankan penafsiran bathiniyah dari pada penafsiran lahiriyah. Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasawuf melalui penjelasan secara sistematis dan umum. Di dalamnya disertai dengan nama-nama tokoh yang dihsilkan pada tiap-tiap fase perkembangan tasawuf. Dari pembahasan pemakalah, kami sadari masih banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu, kapada para pembaca sangat diharapkan sumbangan pemikirannya demi tercapai kesempurnaan makalah ini kepada yang lebih baik lagi. B. Beberapa Anggapan Penyebab Kemunculan Tasawuf Kelahiran tasawuf atau sufisme sebagai sebuah ilmu diketahui memiliki banyak versi. Mengenai kemunculan tasawuf sendiri terdapat dua anggapan, yakni ada yang menganggap bahwa lahirnya ilmu tasawuf disebabkan karena adanya pengaruh ajaran di luar Islam, tetapi ada pula yang menganggap lahirnya tasawuf itu bersamaan dengan lahirnya agama Islam[1]. Masing-masing anggapan tersebut akan diulas di bawah ini. 1. Pengaruh Ajaran Non-Islam Diketahui lahirnya ajaran tasawuf karena adanya pengaruh dari ajaran-ajaran di luar Islam, antara lain a. Pengaruh ajaran Kristen, yaitu adanya tulisan–tulisan tentang rahib-rahib yang hidup menjauhi dunia dan mengasingkan diri di padang pasir Arabia atau menempati biara-biara. b. Pengaruh ajaran Hindu dan Budha 1 Ajaran Hindu banyak mendorong umatnya untuk meninggalkan kehidupan dunia untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhannya untuk mencapai Atman dengan Brahman. 2 Ajaran Budha tentang nirwana, untuk mencapainya seorang Budha diwajibkan meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki hidup kontemplasi. c. Pengaruh filsafat mistik phytagoras, yaitu kesenangan ruh yang sebenarnya adalah berada di alam samawi. Maka untuk memperolehnya, manusia harus membersihkan ruh dengan meninggalkan kehidupan material. Dalam tasawuf dikenal dengan zuhud. d. Pengaruh filsafat emanasi Plotinus. Dalam konsep emanasi dijelaskan bahwa Dzat Tuhan Yang Maha Esa-lah yang memancar dari dalam wujud ini. Ruh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya. Dalam tasawuf dikenal dengan wahdatul wujud[2]. 2. Lahirnya Tasawuf Bersamaan dengan Lahirnya Agama Islam Anggapan yang kedua adalah bahwa tasawuf atau sufisme itu lahir dari agama Islam sendiri. Hal ini bisa dlihat dari ayat Al-Qur’an maupun hadits tentang ajaran tasawuf. Misal dalam surat Al-Baqarah ayat 115 yang artinya, Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui. Al-Baqarah 115 Dalam ayat lain Allah juga menerangkan, “Telah Kami ciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisikkan olehnya. Kami lebih dekat kepada manusia ketimbang pembuluh darah yang ada pada lehernya”. Qaaf 16. Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari juga disebutkan hal serupa, yang artinya “Jika seorang hamba mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta, jka ia medekati-Ku sehasta, niscaya Aku akan mendekatinya sedepa, dan jika ia mendekati-Ku datang dengan berjalan, niscaya Aku akan mendatanginya dengan berlari”. Selain dalil diatas, masih banyak lagi ayat Qur’an maupun hadits yang dijadikan dasar tasawuf oleh para sufi. Oleh karena itu, terlepas dari adanya pengaruh dari luar atau tidak, Islam sendiri mengajarkan sufisme. Ini berarti kelahiran tasawuf bersamaan dengan lahirnya Islam sendiri[1]. C. Masa Perkembangan Tasawuf Hidup kerohanian yang dalam Islam sering disebut dengan sufisme ini nampak melekat pada diri sebagian umat Islam di seluruh dunia. Tentu saja kehidupan seperti ini tidak lepas dari sejarah pertumbuhan dan perkembangannya hingga terbentuklah ilmu tasawuf pada saat ini. Dari beberapa literatur yang ada, disebutkan bahwa sufisme Islam dimulai pada abad pertama Hijriyah, yang mana pada masa itu Rasulullah Saw masih hidup, yang segala kehidupannya cukup membawa arti penting dalam terbentuknya tasawuf ini. Perjalanan tasawuf ini pun kemudian dilanjutkan pada masa-masa selanjutnya hingga abad ketujuh Hijriyah. Adapun lebih jelasnya akan diterangkan berikut ini. 1. Tasawuf Pada Abad Pertama dan Kedua Hijriyah Masa Rasulullah Saw, Para Sahabat, dan Tabiin a. Tasawuf Masa Rasulullah Saw Pada masa ini banyak ditemui contoh-contoh kehidupan sufi yang terdapat pada diri Rasulullah Saw. Dalam kehidupan beliau sehari-hari yang penuh dengan kehidupan yang sangat sederhana dan penuh dengan penderitaan, juga beliau menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah Swt. Sebelum diangkat sebagai Rasul, beliau sering melakukan khalwat di Gua Hira’ Bukit Nur untuk mendapat petunjuk dari Tuhan. Didapati beliau melakukan khalwat berulang-ulang kali dengan bekal hanya beberapa potong roti kering dengan air minum serta buah-buahan yang hal ini menggambarkan makanan yang sangat sederhana bagi seorang sufi. Di tempat itu, beliau mengasingkan diri uzlah dan memisahkan diri infirad dari masyarakat Quraisy yang sudah rusak dan menyimpang dari ajaran Tuhannya. Beliau ingin mencari kehidupan yang berbeda dengan kehidupan orang-orang Quraisy tersebut menuju suatu kehidupan yang membawa kepada kesempurnaan dan kebahagiaan dunia akhirat. Maka dari itu, beliau hendak bertemu liqa’ dengan Allah dan ingin meminta petunjuk kepada-Nya. Setelah beliau mendapat petunjuk melalui malaikat jibril, maka mulailah beliau mengajak manusia agar berusaha menyempurnakan kehidupannya dan harus memiliki pribadi yang baik dan akhlak yang luhur demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat yang disebut dengan sa’atud daraini. Kemudian setelah beliau diangkat sebagai Rasul dan telah menjabat sebagai pemimpin atau kepala negara di Madinah, kehidupan beliau juga nampak sederhana sekali. Dalam rumah tidak ada perabot rumah tangga yang mewah, makanan yang enak, dan jarang terdapat alat-alat rumah tangga. Untuk urusan makan, jangankan makanan yang lezat, makanan yang biasa dimakan sehari-hari belum tentu tersedia pada setiap waktu makan. Sayyidah Aisyah pernah mengatakan bahwa dalam sehari-hari Rasulullah Saw tidak pernah makan sampai dua kali dan paling banyak makanan yang tersimpan tidak lebih dari sepotong roti yang itupun dimakan oleh tiga orang. Diketahui pula beliau tidur di atas tikar sampai berbekas pada pipi beliau. Begitulah kehidupan sufisme dari seorang Rasulullah Saw, meski sebagai pemimpin untuk umat Islam, kehidupan beliau penuh dengan kesederhanaan. Hidup beliau digunakan untuk berkhidmat dan berbakti kepada Allah, menyampaikan agama Islam kepada seluruh umat manusia, tidak menghiraukan kepentingan diri sendiri ataupun keluarganya, namun seluruh hidupnya digunakan untuk umatnya[1]. b. Tasawuf Masa Para Sahabat Begitu halnya dengan para sahabat. Mereka para sahabat besar juga mencontoh kehidupan Rasulullah Saw. Pada era kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, semua kehidupan mereka penuh dengan kesederhanaan dan fokus perhatian mereka hanya tertuju kepada Allah dan berbakti kepada masyarakat. Para khulafaur Rasyidin yang dimaksud antara lain Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib. Masing-masing tasawuf yang dimiliki para sahabat Khulafaur Rasyidin akan dijelaskan secara singkat di bawah ini. Abu Bakar, adalah seorang saudagar yang kaya raya di Makkah, namun ia rela meninggalkan semua harta bendanya demi mengikuti dakwah Rasulullah Saw. Abu Bakar juga memiliki akhlak yang tinggi dan selalu hidup saleh dan taqwa. Pada masa kehidupannya hanya memakai pakaian sehelai kain saja. Bahkan segala harta bendanya dikorbankan demi kepentingan agama dan negara. Disebutkan dalam sebuah riwayat, pada saat Rasulullah Saw masih hidup yang ketika itu akan menghadapi perang Tabuk, beliau bertanya kepada para sahabat siapakah yang bersedia memberikan harta bendanya di jalan Allah. Abu Bakar kemudian menjawab bahwa dirinya akan menyerahkan seluruh harta kekayaannya. Kemudian setelah Rasulullah Saw bertanya kepada Abu Bakar terkait sesuatu yang akan ditinggalkan untuk dirinya dan keluarganya, Abu Bakar menjawab bahwa cukup baginya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya. Umar bin Khattab, adalah sahabat Nabi Saw yang memiliki jiwa yang murni dan akhlak yang tinggi. Ada riwayat yang mengisahkan kehidupan sufisme Umar, yang semuanya ketika ia menjabat sebagai khalifah. Yang pertama ketika Umar naik ke atas mimbar untuk menyampaikan pidato, sedangkan pakaian yang ia pakai bertambal-tambal. Yang kedua, ketika Abdullah bin Umar masih kecil bermain-main dengan temannya, semua temannya tersebut mengejek karena pakaian yang dipakainya penuh tambalan. Hal tersebut akhirnya disampaikan kepada ayahnya, Umar bin Khattab, yang pada saat itu menjabat sebagai kepala negara. Ayahnya pun sedih karena tidak memiliki cukup uang untuk membelikan baju untuk anaknya. Maka ditulislah surat kepada pegawai Baitul Mal untuk meminjam uang sebagai ganti pemotongan gaji bulan depan. Setelah menerima surat tersebut kemudian pegawai tersebut bertanya kepada Umar apakah yakin bahwa umurnya sampai bulan depan. Mendengar hal tersebut, Umar akhirnya tersedu sambil mengeluarkan air mata dan akhirnya tidak jadi meminjam uang di Baitul Mal. Dan masih banyak lagi cerita yang mengisahkan kehidupan Umar yang sangat sufistik tersebut. Utsman bin Affan, adalah sosok yang diberi oleh Allah kelapangan rezeki. Meski begitu ia tidak terlalu terpengaruh dengan kekayaannya. Ia selalu memegang Al-Qur’an pada tangannya. Menjelang malam hari ia hanya belajar Al-Qur’an sampai jauh malam. Bahkan ketika dibunuh oleh pemberontak, ia berada dalam membaca Al-Qur’an. Sifat sufisme yang dimiliki Utsman yang lain ialah, ketika terjadi kemarau panjang pada masa Khalifah Abu Bakar. Banyak penduduk Madinah yang menderita kelaparan karena stok makanan telah menipis. Abu Bakar hanya menyuruh sabar dan menunggu pertolongan dari Allah. Tidak lama setelah itu, ada kira-kira seribu ekor unta milik Utsman bin Affan datang dari Syam dengan membawa bahan makanan dan minyak. Setelah unta-unta tersebut berhenti di depan rumah Utsman, banyak pedagang yang ingin membeli barang dagangannya tersebut dengan berbagai macam tawaran, bahkan ada pedagang yang mengajukan tawarannya hingga sepuluh kali lipat. Akan tetapi Utsman hanya memerintahkan untuk mengumpulkan para fakir miskin pada keesokan harinya dan memberikan hasil dagangannya itu secara cuma-cuma. Begitupun dengan Ali bin Abu Thalib. Sifat kesederhanaannya tidak kalah dengan para sahabat yang lain. Ketika menjabat sebagai khalifah, pakaian yang ia pakai banyak yang sobek, dan ketika sobek ia sendiri yang menjahitnya. Suatu ketika ia ditanya seseorang mengapa sampai seperti itu pakaiannya yang sobek, ia hanya menjawab untuk mengkhuyukkan hati dan untuk menjadi teladan bagi orang-orang yang beriman. Ada lagi sahabat yang terkenal zuhud selain para sahabat Khulafaur Rasyidin di atas, yakni Huzaifah bin Yaman. Abu Thalib Al-Makki dalam kitabnya Qutul Qulub’ pernah menerangkan bahwa Huzaifah mempunyai ilmu yang luas tentang akhlak serta mendalam keyakinannya tentang hikmah-hikmah agama bila dibandingkan dengan para sahabat yang lain. Bahkan Umar dan Utsman selalu meminta pendapat-pendapatnya tentang suatu hal yang sulit dimengerti. Pernah ia ditanya darimana ia mendapatkan ilmu yang demikian itu. Huzaifah menjawab bahwa Rasulullah Saw memberikan keistimewaan kepadanya karena orang selalu bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedang dirinya selalu bertanya tentang kejahatan karena ia takut terlibat dalam kejahatan. Dari kisah sufisme para sahabat di atas, terutama dari sahabat Huzaifah, maka para sufi berpendapat ada hal-hal yang perlu disimpan sebagai rahasia dalam ilmu tasawuf. Karena tidak semua ajaran tasawuf boleh disebarluaskan kepada siapapun. Memang ada beberapa ajaran tasawuf yang tidak boleh diajarkan secara sembarangan kecuali kepada orang-orang yang dipilih dan dianggap telah layak untuk menerimanya, sebab Abu Hurairah pernah berkata Aku memperoleh dari Rasulullah Saw dua bejana ilmu pengetahuan. Satu di antaranya aku tanyakan kepada orang lain dan satunya lagi tidak aku tanyakan, dan kalau aku tanyakan niscaya leherku akan dipenggal orang Riwayat Bukhari[2]. c. Tasawuf Masa Para Tabi’in Ada dua tabi’in besar pada masa ini dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu tasawuf, antara lain Hasan Basri, Rabiatul Adawiyah, Sufyan Tsauri, Rabi’ bin Haitsam, Jabir bin Hayyan, Kulaib Ash-Shidawi, Manshur bin Ammar, Malik bin Dinar, Al-Fadhl Al-Ragassyi, Rabbaah bin Amr Al-Qisyi, Shalih bin Basyr Al-Murri, Abdul Wahid bin Zaid, Ibrahim bin Adham, Syaqiq Al-Balakhi, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan disini. Namun yang paling popular di antaranya ialah Hasan Basri, Rabiatul Adawiyah, dan Sufyan Tsauri. 1 Hasan Basri Setelah era Huzaifah bin Yaman, kemudian disusul generasi sufi yang dipelopori oleh Hasan Basri. Hasan Basri belajar tasawuf kepada Huzaifah yang kemudian menjadikannya sebagai orang besar dalam perkembangan ilmu tasawuf, bahkan dianggap sebagai imam orang-orang sufi. Hasan Basri lahir di Madinah pada tahun 21 Hijriyah atau 632 Masehi, dan meninggal pada tahun 110 H. Hasan Basri adalah salah seorang tabi’in yang terbesar dan ternama, baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam kesalehan dan kehidupan zuhudnya. Hasan Basri pula yang mula-mula membahas ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha-usaha untuk membersihkan jiwa. Dr. Hasan Ibrahim Hasan menerangkan dalam bukunya Tarikhul Islam’, bahwa kehidupan tasawuf yang asli itu berada dalam kehidupan Hasan Basri. Hasan Basri pernah bertemu dengan 70 orang yang mengikuti perang Badar dan 300 orang sahabat yang lain. Hasan Basri memiliki kepribadian yang sangat menarik. Ketika kecil ia pernah mendapat pujian dari Ali bin Abu Thalib. Suatu ketika, Ali bin Abu Thalib masuk ke dalam masjid di Basrah. Dilihatnya banyak anak-anak sedang asyik bercerita di dalam masjid, maka Ali mendatangi mereka dan berusaha mengusirnya keluar masjid. Namun tiba-tiba ia mendapati salah seorang di antara mereka seorang anak yang tampan, yakni Hasan Basri. Hasan Basri pada saat itu sedang asyik bercerita, dan Ali sangat tertarik dengan ceritanya itu. Demi memelihara ketenangan dan ketenteraman dalam masjid karena ramainya anak-anak, maka Ali mengajukan pertanyaan kepada Hasan Basri, “Hai anak muda! Aku ingin bertanya kepadamu dua perkara. Jika engkau dapat menjawabnya, maka aku akan biarkan engkau berbicara terus. Tetapi jika engkau tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, engkau akan kukeluarkan dari dalam masjid ini seperti anak-anak yang lain”. Anak muda yang bernama Hasan Basri itu pun berkata, “Silakan bertanya wahai Amirul Mukminin”. Kemudian Ali bin Abu Thalib pun bertanya, “Ceritakan kepadaku apa kebaikan agama dan apa pula kerusakannya?”. Dijawab oleh Hasan Basri, “Kebaikan agama itu adalah hidup wara’, dan kerusakan agama itu adalah hidup tamak”. Setelah dijawab demikian, maka Ali pun berkata, “Engkau benar, dan sekarang berbicaralah”. Dasar ajaran tasawuf Hasan Basri adalah zuhud terhadap dunia, menolak kemegahan dunia semata-mata menuju kepada Allah, bertawakal kepada-Nya, khauf takut, dan raja’ pengharapan. Masing-masing konsep atau dasar ajaran tasawuf Hasan Basri tersebut akan diuraikan berikut a Zuhud berarti hati tidak menyenangi dunia dan berpaling terhadap keindahan dan kemewahannya karena berbuat taat kepada Allah. Zuhud adalah suatu tingkatan jiwa yang tinggi, dan ini baru dapat dicapai apabila telah tertanam perasaan takut dan harap di dalam hati. b Takut khauf bukan berarti takut kepada Allah, namun takut akan terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan yang menyebabkannya mendapat murka Allah Swt. Pandangan inilah yang menyebabkan Hasan Basri bersedih hati, senantiasa takut dan gemetar, kalau ia tidak dapat mengerjakan perintah Allah sepenuhnya dan tidak dapat menghentikan larangan Allah sepenuhnya karena digoda oleh syetan dan hawa nafsu keinginan. Dalam hal ini kadang-kadang orang merasa biarlah masuk neraka daripada kena murka. c Setelah merasa takut kepada kemurkaan Allah, maka ikutilah ketakutan itu dengan pengharapan raja’. Kalau seorang manusia setelah berusaha memenuhi segala perintah Allah dan berusaha menjauhkan dirinya dari kejahatan, namun karena kelalaian dan nafsunya, ternyata masih mampu menyeretnya ke jurang kejahatan, manusia tidak boleh berputus asa, terus selalu menanamkan rasa harapan terhadap ampunan dari Allah Swt. Maka dari itu, tujuan pokok dari khauf dan raja’ ialah ingin terbebas dari kejahatan dan ingin mencapai kebaikan dan ketaqwaan[1]. 2 Rabiatul Adawiyah Seorang sufi wanita yang besar pada masa ini juga ialah bernama Rabiah binti Ismail Al-Adawiyah, yang dikenal dengan nama Rabiatul Adawiyah. Menurut Ibnu Hilqan, Rabiatul Adawiyah wafat sekitar tahun 135 H/796 M. Ia dikenal sebagai seorang yang hidup saleh dan taqwa. Sepanjang hari ia menegakkan ibadah, seperti shalat dan berpuasa. Ia memiliki murid yang terdiri dari kaum wanita. Secara garis besar, konsep tasawuf Rabiatul Adawiyah dikenal dengan ajaran cinta mahabbah atau hubbulillah. Tingkatan zuhud yang tadinya dirintis oleh Hasan Basri, yakni zuhud karena takut kepada kemurkaan Allah dan mengharap kepada ampunan Allah, ditingkatkan oleh Rabi’atul Adawiyah kepada zuhud karena cinta. Cinta yang telah suci murni itu lebih tinggi daripada takut dan harap, karena cinta yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa[2]. Terkait konsep hubbulillah Rabi’atul Adawiyah ini akan diuraikan lebih rinci pada pemakalah berikutnya. 3 Sufyan Tsauri Sufyan Tsauri lahir pada tahun 97 H/602 M, dan wafat di Basrah tahun 121 H/732 M. Ia merupakan seorang ulama hadits yang terkenal dan seorang tabi’in yang sangat zahid dan tak tertandingi. Dalam hal meriwayatkan hadits, ia dijuluki sebagai Amirul Mukminin dalam hal hadits’. Sifat beliau yang sangat kuat ialah tidak mau mendekati raja-raja. Ia hidup pada zaman khalifah Al-Manshur. Setelah menerima ilmu dari gurunya, Hasan Basri, ia pun mengembara dari sebuah kota ke kota lain untuk menerangkan intisari agama kepada murid-muridnya. Sufyan Tsauri pernah mengungkapkan perihal kesufiannya, bahwa jangan kau rusak agamamu dengan kemewahan dan kemegahan yang berlimpah ruah, karena hal itu akan menyebabkan umat Islam tenggelam dalam keduniawian, dan tidak dapat lagi dibedakan mana yang halal dan mana yang haram. Ia juga merasa tidak ada faedahnya berbicara kepada orang-orang yang bermulut manis kepada ulama, tetapi rakyat kian lama kian sengsara[3]. 2. Tasawuf Pada Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah a. Ciri-Ciri Perkembangan Tasawuf Pada Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah Tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah sudah mempunyai corak yang berbeda dengan tasawuf abad sebelumnya. Pada abad ini tasawuf sudah bercorak kefana’an ekstase yang menjurus ke persatuan hamba dengan Tuhannya wahdat al-wujud. Orang sudah ramai membahas tentang lenyap dalam kecintaan ittihad bi al-mahbub, kekal dengan tuhan baqa’ bi al-mahbub, menyaksikan tuhan musyahadah, bertemu dengan nya liqa’ dan menjadi satu dengannya ain al-jama’[1]. Lebih jauh Abu al-Wafa menegaskan, bahwa tasawuf pada abad ini lebih mengarah kepada ciri psikomoral, dan perhatiannya diarahkan pada moral dan tingkah laku. Sebab pada masa ini ilmu tasawuf terbagi menjadi tiga, yaitu Ilmu Jiwa, Ilmu Akhlak, dan Ilmu Metafisika. Ditambah pula bahwa demikian pesatnya perkembangan tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah ini, sehingga seolah-olah sudah merupakan madzhab, bahkan sebagai agama yang berdiri sendiri. Pada abad ini pula terdapat dua aliran yaitu tasawuf sunni dan tasawuf semi falsafi[2]. b. Tokoh-Tokoh Sufi Pada Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah Ada beberapa tokoh yang bergerak di bidang tasawuf dan kehidupannya berada pada kesufian pada abad ketiga Hijriyah ini, antara lain Abul Faidh Zin-Nun Al-Misri, Abu Yazid Al-Busthami, Yahya bin Muaz, dan Al-Junaid. Sedangkan tokoh tasawuf pada abad keempat Hijriyah antara lain Al-Sari Al-Saqathi, Abu Hamid bin Muhammad Al-Rubazi, Abu Zaid Al-Adami, Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab As-Saqafi, Abu Bakar Syibli, Abu Muhammad Al-Murtasi, dan Husain bin Mansuh Al-Hallaj. Beberapa di antara tokoh-tokoh sufi tersebut akan dijelaskan profil dan pemikirannya tentang tasawuf berikut ini. 1 Abul Faidh Zin-Nun Al-Misri Abul Faidh Zin-Nun Al-Misri atau yang lebih dikenal dengan Zunnun Al-Misri, berasal dari Naubah, yakni daerah di antara Sudan dan Mesir. Ia wafat pada tahun 246 H/860 M. Ia adalah salah seorang murid Imam Malik dan boleh dikatakan bahwa ia adalah yang pertama kali menetapkan teori-teori di dalam ilmu tasawuf pada abad ketiga. Ia banyak sekali memperluas pemahaman tentang jalan menuju Allah. Tujuannya terkait ilmu tasawuf ialah bagaimana cara mencintai Tuhan, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut akan berpaling jalan. Pernah ditanya oleh seseorang apa hakikat cinta itu. Zunnun Al-Misri menjawab, “Bahwa engkau mencintai apa yang dicintai Allah, dan engkau membenci apa yang dibenci-Nya. Engkau memohon ridha-Nya, dan sekalian engkau tolak yang akan menghalangimu menuju Dia. Jangan takut akan kebencian orang yang membenci. Dan jangan mementingkan diri dan melihatnya, karena dinding yang sangat tebal untuk melihat-Nya ialah lantaran melihat diri sendiri. Orang yang arif adalah bangga dalam kefakirannya. Apabila disebutnya nama Allah, ia merasa bangga, dan apabila disebut nama dirinya, ia merasa miskin”. Mengenai konsep taubat, Zunnun Al-Misri mengungkapkan bahwa taubat terbagi menjadi dua macam, yaitu taubatnya orang awam, yakni taubat dari dosa, dan taubatnya orang khawash, yaitu taubat dari kelalaian. Demikian pula dengan konsep ma’rifat, olehnya dibagi menjadi tiga macam, yaitu ma’rifat mukmin biasa mu’miniin, ma’rifat ahli bicara mutakallimin dan hukama’, dan ma’rifat waliyullah yang dekat kepada Tuhan dan kenal akan Tuhan dalam hatinya muqarrabiin. Ma’rifat yang terakhir inilah setinggi-tingginya martabat[3]. 2 Abu Yazid Al-Busthami Abu Yazid Al-Busthami memiliki nama kecil Thaifur. Namanya sangat istimewa dan cukup melekat dalam hati orang-orang sufi. Al-Busthami pernah berkata, “Kalau kamu melihat seseorang yang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di udara, maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu melihat bagaimana dia mengikut suruh dan menghentikan tegah dan menjaga batas-batas syariat”. Meski perkataannya tersebut terasa sulit dimengerti, namun bisa ditangkap sebuah pengertian bahwa tasawuf yang diamalkan tidak keluar daari batas-batas syara’. Ada pula perkataannya yang terdengar ganjil’ dan dalam, dan seseorang termasuk kita harus berhati-hati dalam memahaminya. Karena bila salah dalam memahaminya, maka tentu akan menyangka bahwa Al-Busthami memilih jalan di luar ketentuan agama, atau minimal dia telah tersesat. Seperti konsep Hulul’ yang olehnya dikatakan, “Hamba dan Tuhan sewaktu-waktu bisa berpadu menjadi satu”. Atau juga perkataan yang lain yang dikutip oleh Abdul Hamid Zahrawi dalam kitabnya Al-Fiqh wa At-Tasawwuf’, “Tidak ada Tuhan melainkan saya. Sembahlah saya , amat sucilah saya. Alangkah besar kuasaku”. Selanjutnya terkait konsep perjalanan menuju fana’, ia mengatakan bahwa, “Permulaan adanya aku di dalam alam wahdaniyat-Nya, aku menjadi burung yang tubuhnya dari Ahdiyat, dan kedua sayapnya dari daimunah tetap dan kekal. Maka senantiasa aku terbang di udara kaifiyat sepuluh tahun lamanya, sehingga aku dalam udara demikian rupa kali. Maka senantiasa aku terbang dan terbang lagi di dalam medan azal. Maka terlihatlah olehku pohon ahdiyat ….”. Pada akhirnya beliau berkata, “Akhirnya sadarlah aku dan tahulah aku, bahwa sama sekali itu hanyalah tipuan dan khayalan belaka”. Kata-kata yang demikian itu disebut dengan Syathathat, artinya ialah kata-kata yang penuh dengan khayalan. Karena itu perkataan ini tidak dapat dikenakan hukum, sebab orang pada saat itu sedang dimabuk oleh fana’nya, bukan mabuk karena pengaruh alkohol. Perkataan yang tidak lazim tersebut inilah yang akhirnya memunculkan suatu istilah As-Sakar’ mabuk dan Al-Isyq’ rindu dendam[4]. 3 Yahya bin Muaz Yahya bin Muaz adalah seorang sufi yang sezaman dengan Abu Yazid Al-Busthami. Ia mulai memakai ilmu pengetahuan dalam menegakkan paham tasawuf yang kelak menjadi bahan penting bagi ahli-ahli tasawuf yang akan datang. Ia juga banyak sekali membicarakan tentang fana’, wajdan rindu, dan sakar mabuk. Pokok ajaran tasawufnya ialah melanjutkan dari tasawufnya Rabiatul Adawiyah yang masih berkaitan dengan cinta. Intisari cinta dalam tasawufnya ialah tunduk dan patuh secara bulat oleh Allah Swt. Ketundukan dan penyerahan yang membuat jiwa senentiasa mendorong hendak mencapai derajat yang tinggi. Mengenai ma’rifat, ia menambahkan dari dasar-dasar sufi yang ada, yakni mengenal yang haq yang lebih tinggi daripada mengenal sesuatu makhluk. Sedangkan lalai atau luput, ia mengemukakan bahwa lalai adalah terputus dari haq, sedangkan mati hanya terputus hubungan dengan sesama manusia. Untuk itu, lalai dari jalan menuju Allah lebih berbahaya daripada mati. Baginya, apabila hubungan dengan Tuhan telah ada, maka kematian itulah jalan yang sebahagia-bahagianya, sebab bertemu dengan kekasih. Zuhud menurutnya ialah memalingkan kehendak dari sesuatu kehendak kepada yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Maka zuhud ini terbagi menjadi tiga perkara a Sedikit, yaitu jangan terlalu banyak harta benda yang dimiliki, karena semuanya itu akan menghambat dalam perjalanan menuju Allah. b Khalwat merenung atau menyendiri, bertafakkur, yaitu tidak banyak bercampur dengan orang lain. Kalau terpaksa bergaul, maka duduklah dengan orang banyak. c Al-Ju’ lapar, yakni jangan terlalu banyak makan, karena banyak makan menimbulkan malas dan mengantuk[5]. 4 Husain bin Mansuh Al-Hallaj Husain bin Mansuh Al-Hallaj lahir di Persia pada tahun 244 H/858 M, yang sebelumnya ia beragama Majusi, kemudian masuk Islam dan terkenal dengan julukan Abu Mughis. Al-Hallaj adalah seorang yang memiliki riwayat yang luar biasa dalam bidang tasawuf. Pandangannya sempat membuat ramai di dunia fiqih, sebab pada masa itu terjadi pertentangan antara ulama fiqih dengan ulama tasawuf karena faktor salah dalam memahami konsep tasawuf. Ada ratusan ulama fiqih pada saat itu menentang ajaran tasawufnya sehingga pada akhir hidupnya dijatuhi hukuman mati. Secara ringkasnya, ajaran tasawuf Al-Hallaj terdiri dari tiga hal, antara lain a Hulul, berarti ketuhanan lahut menjelma ke dalam diri manusia nasut. Hal ini akan terjadi ketika kebatinan seorang manusia sudah suci bersih di dalam menempuh perjalanan dalam hidup kebatinan, maka tingkat hidupnya akan naik dari maqam tingkatan ke maqam yang lain, misalkan dari muslimin, mukminin, shalihin, dan muqarrabin. Pada maqam muqarrabin, orang sudah sangat dekat dengan Tuhan sehingga timbullah penyatuan dirinya dengan Tuhan. b Al-Haqiqatul Muhammadiyah, yaitu Nur Muhammad sebagai asal-usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan. Dan dengan perantaranya lah seluruh alam ini dijadikan. Menurut Al-Hallaj, Nabi Muhammad itu terdiri dua rupa Yang pertama adalah yang qadim, yaitu terjadi sebelum terjadinya seluruh yang ada. Yang kedua adalah yang berupa manusia, yakni sebagai Nabi dan Rasul. Rupa yang kedua manusia/Nabi/Rasul ini akan menempuh kematian, dan rupa yang pertama bersifat qadim. Rupa yang pertama inilah yang oleh Al-Hallaj sebagai asal-usul segala sesuatu. c Wihdatul Adyan, yaitu kesatuan segala agama. Ia berpendapat bahwa semua agama, baik Islam, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain, meski berbeda dalam hal nama, namun pada hakikatnya adalah satu. Orang memilih suatu agama atau lahir dalam suatu agama bukan atas dasar kehendaknya sendiri, melainkan sudah ditentukan oleh Allah Swt melalui takdir-Nya[6]. 3. Tasawuf Pada Abad Kelima Hijriyah a. Ciri-Ciri Perkembangan Tasawuf Pada Abad Kelima Hijriyah Kematian Al-Hallaj di atas tiang kayu palang telah menyebabkan kesan yang sangat tidak baik terhadap tasawuf. Salah kaprahnya para sufi dalam memahami tasawuf pada abad sebelumnya menyebabkan pertarungan sengit antara ulama fiqih dengan para sufi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Ditambah lagi pada masa itu berkembang mazhab Syi’ah Ismailiyah dengan konsep imamah-nya yang mampu mendekatkan para sufi dengan kaum Syi’ah. Sehingga mendekatnya kaum sufi dengan kaum Syi’ah menyebabkan semakin buruknya pandangan ulama fiqih terhadap tasawuf[1]. Atas sebab itulah, tasawuf pada abad V Hijriyah mengadakan konsolidasi. Sebab pada masa ini ditandai dengan kompetisi dan pertarungan antara tasawuf sunni dan tasawuf semi falsafi, dan dimenangkan oleh tasawuf sunni. Kemenangan tasawuf sunni dikarenakan menangnya aliran teologi Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, yang mengkritik keras terhadap teori Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj yang nampak bertentangan dengan aqidah Islam. Oleh karena itu, tasawuf pada abad ini cenderung mengadakan pembaharuan[2]. Pada masa ini pula, filsafat dan ilmu kalam berkembang dengan pesatnya, yang lambat laun ajaran tasawuf sudah mulai kemasukan filsafat. Dr. Ibrahim Hasan Ibrahim dalam bukunya Tarikhul Islam’ menerangkan bahwa tasawuf Islam berkembang dengan pesatnya di kalangan kaum muslimin, khususnya di kalangan orang-orang Persi yang masuk Islam. Dalam perkembangannya yang terakhir, tasawuf Islam telah bersatu dengan ajaran filsafat, sehingga menjadi satu model yang dinamakan Filsafat Tasawuf. Filsafat tasawuf merupakan perpaduan antara ajaran-ajaran Neo-Platonisme, dan di pihak lain dengan ajaran Persia dan India[3]. b. Tokoh-Tokoh Sufi Pada Abad Kelima Hijriyah Ada beberapa tokoh sufi besar pada masa ini, antara lain Abu Hamid al-Ghazali, Syaikh Ahmad Al-Rifa’i, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Syaikh Abu Hasan Al-Syadzili, Abu Al-Abbas Al-Mursi, dan Ibnu Atha’illah Al-Sakandari. Namun ulasan tentang tasawuf pada masa kelima Hijriyah ini lebih menitikberatkan pada konsep tasawuf Al-Ghazali. Sebab – menurut hemat kami -, Al-Ghazali adalah seorang sufi yang terkenal dan terbesar pada masa itu, dan memiliki konsep tasawuf yang paling jelas dan mencerminkan kondisi pada saat itu. Al-Ghazali, memiliki nama asli Abu Hamid Al-Ghazali, lahir di desa yang bernama Thus pada tahun 450 H/1057 M, dan meninggal pada tahun 505 H/1111 M. Al-Ghazali hidup pada zaman Nizamul Mulk, seorang menteri besar kerajaan Bani Saljuk. Sosok Al-Ghazali sebagai seorang pemikir yang besar telah mempererat kembali segala perselisihan dan pertikaian yang telah timbul, terutama antara para sufi dengan ulama fiqih. Sebelum Al-Ghazali, para ulama mutakallimin ilmu kalam telah mengambil beberapa cara berpikir kaum filsafat dalam menguatkan dasar ilmu kalam teologi. Filsafat yang dipelajarinya hanya semata-mata untuk menguatkan dasar-dasar ilmu kalam. Al-Ghazali memandang, cara pengambilan yang demikian itu sangat dangkal, sebab orang hanya tertarik dengan ujung-ujung filsafat, tetapi tidak menggali hingga sampai kepada uratnya. Padahal menurut Al-Ghazali, kalau sekiranya digali sampai ke uratnya, filsafat tidaklah memperkokoh pendirian ketuhanan, melainkan akan menggoyahkannya. Terkait tasawuf, corak pemikiran tasawuf yang dimiliki Al-Ghazali mengedepankan pada psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya seperti Ihya Ulumuddin Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama, Bidayatul Hidayah Pengantar Tasawuf, Al-Munziqu Minad Dhalal Pelepasan Diri Dari Kesesatan, Tahafutil Falasifah Kacau Balaunya Filsafat, dan sebagainya. Al-Ghazali mengkritik pola tasawuf pada masa sebelumnya bisa jadi karena kemasukan paham filsafat karena dianggapnya mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriyah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami dan mengemukakan kesatuan dengan tuhan. Kedua, keganjilan ungkapan yang tidak dipahami maknanya diucapkan dari hasil pemikiran yang kacau, hasil imaginasi sendiri. Selain kritikan tentang model orang-orang sufi sebelumnya, serta model berpikir para filsuf, Al-Ghazali memiliki sejumlah pemikiran yang masih berputar pada masalah kebatinan, secara garis besar antara lain 1 Terkait tasawuf dan filsafat Al-Ghazali tertarik kepada tasawuf karena menurutnya, yang ditekankan dalam tasawuf bukan semata-mata akal. Karena apabila hanya akal, maka yang ada hanyalah kebinasaan yang akan didapatinya. Artinya, dalam mempelajari filsafat, bukannya bertambah teguh imannya, malah menimbulkan keraguan. Oleh sebab itu kalau hanya mengandalkan akal, maka tidak akan dapat menemukan kebenaran, keadilan, kecintaan, dan keyakinan, sebab akal saja tidak dapat mencari nilai. Begitu pula tentang kesalahan yang didapat pada para ahli tasawuf seperti yang disebutkan sebelumnya, namun kesalahan ini masih dapat diperbaiki, asalkan ada dua perkara yang tidak boleh dipisah, yakni Ilmu dan Amal’. 2 Konsep Ma’rifat Ma’rifat menurut Al-Ghazali, bukan hanya didapat dengan akal. Ilmu yang sejati atau ma’rifat yang sebenarnya adalah mengenal Tuhan. Dari sini Al-Ghazali mengenalkan konsep Hadrat Rububiyah, yaitu wujud Tuhan meliputi segala wujud. Tidak ada wujud melainkan Allah dan perbuatan Allah. Allah dan perbuatan-Nya adalah dua, bukan satu. Pendapat Al-Ghazali ini menunjukkan pendiriannya yang berbeda dengan para sufi sebelumnya, seperti Al-Hallaj melalui paham Wihdatul Wujud-nya. 3 Tingkatan manusia Menurut Al-Ghazali, kecerdasan dan kesanggupan akal manusia itu tidaklah sama. Dalam dunia ini pasti ada orang awam dan orang khawash. Al-Ghazali memberi nasihat kepada orang awam yang belum sanggup berpikir seperti orang khawash untuk tidak perlu memasuki pada persoalan yang rumit dan dalam, yang justru akan menimbulkan keraguan dalam hatinya sendiri. Cukuplah bagi orang awam itu berpegang dengan Al-Qur’an dan Sunnah, tidak perlu banyak tanya, dan tidak perlu menta’wilkan dalil yang dalam pemahamannya. Tetapi orang yang sudah mencapai tingkat tinggi khawash, tidak lagi semata-mata berpegang pada kulit lahiriyahnya saja, tapi meningkat kepada yang lebih tinggi dari itu, yaitu ilmu yang lebih banyak dirasakan daripada dikatakan. Itu merupakan anugerah dari Allah, karena dia dapat menyaksikan yang haq yang diliputi Nur cahaya keyakinan. 4 Iman dan yakin Dari tingkatan manusia di atas, maka Al-Ghazali membagi iman dan yakin menjadi tiga tingkatan a Iman orang awam Orang awam itu mempercayai kabar berita yang dibawa oleh orang yang dipercayainya b Iman orang alim Orang alim itu orang yang mendapat kepercayaan dari jalan membanding, meneliti, dan memeriksa dengan segenap kekuatan akal dan mantiq-nya intelektualisme. c Iman orang arifin Orang arifin itu orang yang beriman dan tumbuh keyakinan setelah menyaksikan sendiri akan kebenaran itu tanpa adanya tabir/penghalang. 5 Bahagia Manusia memiliki sifat ingin tahu, karena manusia lahir di dunia ini berawal dari ketidaktahuan laa ta’lamuuna syai’an. Apabila manusia mengetahui suatu hal yang belum diketahui, maka terasa senang lah hatinya. Kesenangan itu ada dua lazaat kepuasan dan sa’adah kebahagiaan. Bila seseorang bertambah banyak yang diketahuinya, maka bertambah naiklah tingkat kepuasan dan bertambah dalam rasa kebahagiaan. Itulah sebabnya orang yang lebih luas pengetahuannya akan lebih berbahagia daripada orang yang kurang berpengetahuan. Dan puncak tertinggi dari rasa puas dan bahagia ialah ma’rifatullah mengenal Allah Swt Demikianlah pemikiran tasawuf Al-Ghazali, yang akhirnya membuka jalan baru bagi tasawuf Islam. Konsep tasawuf Al-Ghazali ini bahkan menjadi ilmu baru yang bukan hanya bagi umat Islam, namun juga orang-orang Nasrani pada abad-abad pertengahan. Al-Ghazali dalam tasawufnya juga berhasil menggabungkan rasa keindahan dan cinta, yang akhirnya menghasilkan seni yang hidup dalam Islam. Hal ini nampak pada seni arsitektur seperti pada menara masjid, kubah masjid, ukiran Al-Qur’an, pada syair-syair yang merdu dan mendalam dari para sufi abad-abad berikutnya, seperti Jalaluddin Rumi, dan lain-lain[4]. 4. Tasawuf Pada Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah a. Ciri-Ciri Perkembangan Tasawuf Pada Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah Pada abad VI Hijriyah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Dr. Ibrahim Hasan Ibrahim dalam bukunya Tarikhul Islam’ menamainya sinkretisme filsafat dengan tasawuf. Sehingga dalam hal ini, perjalanan tasawuf masih sama seperti pada abad V Hijriyah. Ditambah lagi adanya akibat dari besarnya pengaruh Tasawuf Al-Ghazali yang berhasil mengkompromikan ilmu kebatinan dengan filsafat. Teorinya mengenai hakikat bukan semata-mata dengan akal, namun juga dengan perasaan. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyimpulkan, bahwa tasawuf falsafi mempunyai empat obyek utama dan menurut Abu Al-Wafa bisa dijadikan karakter sufi falsafi, yaitu 1 Latihan rohaniah riyadhah dan perjuangan batin mujahadah dengan rasa, intuisi, serta instropeksi. 2 Illuminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib. 3 Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan. 4 Munculnya ungkapan-ungkapan baru atau istilah-istilah yang pengertiannya masih samar-samar, seperti kasyaf tirai penyingkap, tajalli Tuhan telah jelas dan nyata, wihdatul muthlaqah kesatuan yang mutlak, hulul penjelmaan Tuhan ke dalam hamba, dan ittihad persatuan antara hamba dengan tuhan[1]. b. Tokoh-Tokoh Sufi Pada Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah Ada beberapa tokoh sufi pada masa ini, antara lain Syihabuddin Abdul Futuh Al-Syuhrawardi, Muhyiddin Ibnu Arabi, Umar Ibnu Faridh, dan Abd Al-Haqqi ibn Sabi’in. Dari keempat tokoh sufi di atas, yang paling terkenal ialah Syihabuddin Abdul Futuh Al-Syuhrawardi dan Muhyiddin Ibnu Arabi. Beberapa tokoh sufi terkenal ini akan diulas secara garis besar berikut 1 Syihabuddin Abdul Futuh Al-Syuhrawardi Ia dikenal dengan nama lain Asy-Syaikh Al-Maqtul Syaikh yang mati terbunuh, dan memiliki gelar Al-Mu’ayyad bil Malakut’ mendapat sokongan dari alam malakut. Mula-mula ia belajar filsafat dan ushul fiqih kepada Syaikh Imam Majdudin Al-Jaili di Aleppo, dan banyak bergaul dan bertukar pikiran dengan para ulama disana. Lantaran pemikirannya yang sangat bebas, akhirnya timbul pertentangan dengan para ulama fiqih sehingga ia dituduh zindiq dan ilhad tidak bertuhan/keluar dari agama. Kemudian para ulama fiqih meminta kepada Sultan Salahuddin Al-Ayyubi Saladin yang terkenal untuk menangkapnya dan dijatuhi hukuman mati. Setelah mendengar desakan dari para ulama fiqih tersebut, maka Sultan mengutus anaknya, Malik Az-Zahir, untuk menanngkapnya dan memasukkannya ke dalam penjara. Setelah berada di penjara, Al-Syuhrawardi tidak mau makan dan minum sampai meninggal pada tahun 587 H/1191 M. Al-Syuhrawardi telah mempelajari filsafat kuno seperti filsafat India, Persia, dan Yunani. Setelah mendalami beberapa filsafat tersebut, maka ia berkesimpulan bahwa para filsuf adalah orang-orang dari satu keluarga. Seperti para filsuf dari Yunani, India, dan Persia, semuanya berjalan menuju satu maksud dan berlindung di bawah satu bendera, yakni filsafat Isyraq, yakni menuntut cahaya kebenaran dari cahayanya segala cahaya, yaitu Allah. Dalam kitabnya Hayakilun Nur’, ia menerangkan perlawanan antara Nur cahaya, merujuk pada rohani dengan zulumat kegelapan, merujuk pada benda. Berbagai kekuatan akal dinamai dengan Anwar banyak cahaya. Akal yang mengatur perjalanan falak dinamainya Anwarul Qahirah cahaya yang menguasai. Jiwa manusia dinamainya Anwarul Mujarradah cahaya yang semata-mata. Allah dinamainya Nurul Anwar cahaya dari segala cahaya. Jizim tubuh dinamainya Jauharul Muzlim benda yang gelap, sedangkan alam Ajzam dinamakan Barzakh. Dari sini, Al-Syuhrawardi berusaha menjelaskan dasar filsafat tasawuf yang dimilikinya, yakni Allah adalah cahaya dari segala cahaya dan sumber dari segala yang ada. Dari nur Allah akan melahirkan nur-nur yang lain, baik alam yang maddi nampak atau alam rohani. Dari kekuatan tersebut kemudian menggerakkan segala falak dan mengatur akan segala aturannya. Terkait penuntut hikmah, Al-Syuhrawardi membaginya menjadi tiga macam a Ahli Filsuf, yang hanya mempergunakan akal semata. b Ahli Tasawuf, yang ingin mencari Tuhan. c Ahli filsuf ketuhanan, yakni yang menggunakan akal dan mementingkan rasa untuk mencapai tujuan, yaitu Allah. Inilah yang paling tinggi nilainya[2]. 2 Muhyiddin Ibnu Arabi Nama lengkapnya Abu Bakar Muhyiddin Muhammad bin Arabi At-Thai Al-Haitami Al-Andalusi. Lahir di Mercia, Spanyol pada tahun 598 H/1102 M. Pada mulanya, Ibnu Arabi menuntut ilmu fiqih dalam mazhab Zahiri di Avilla, kemudian dilanjut dengan mencari ilmu kepada guru-guru yang sudah banyak terpengaruh oleh filsafat Neo-Platonisme yang sedang berkembang di Andalusia pada saat itu. Ia memiliki konsep filsafat tasawuf yang hampir sama dengan Al-Syuhrawardi, yaitu gabungan antara perasaan jiwa dengan renungan akal. Karyanya juga banyak, salah satunya ialah Al-Futuhat Al-Makiyah’, yang berisi pendirian dan buah renungan dari Ibnu Arabi. Perihal konsep tasawuf, Ibnu Arabi memiliki tiga ajaran pokok, yaitu a Wihdatul Wujud Pantheisme Bagi Ibnu Arabi, wujud itu hanya satu, wujud makhluk adalah wujud khalik Al-khaliq huwal makhluq, wal makhluq huwal khaliq. Tidak ada perbedaan di antara yang qadim eternal yang disebut Khalik dengan yang baru yang disebut makhluk. Perbedaan itu hanya rupa dan ragam dari hakikat yang satu, karena itu keduanya mempunyai sifat yang sama. Singkatnya bagi Ibnu Arabi, hamba itu Tuhan dan Tuhan itu hamba. b Al-Haqiqatul Muhammadiyah/Nur Muhammad Kalau Al-Hallaj adalah peletak dasar teori Nur Muhammad, maka Ibnu Arabi adalah seseorang yang memperluas dan mengembangkan teori tersebut. Bagi Ibnu Arabi, Allah itu adalah sesuatu dan satu. Dialah wujud yang mutlak. Maka nur cahaya Allah itu sebagian dari dirinya. Itulah hakikat Muhammadiyah. Maka Nur Muhammad itu juga bersifat qadim, sebagian dari sesuatu dan satu. Apabila Muhammad telah mati tubuhnya, namun Nur Muhammad atau hakikat Muhammadiyah itu tetaplah ada. Jadi, Allah – Adam – Muhammad adalah satu. c Wihdatul Adyan Kesatuan Agama Sama seperti Al-Hallaj, Ibnu Arabi berkata, “Model penyembahan yang bermacam-macam agama dengan secara khusus menurut agamanya saja, tidak diragukan lagi hal itu adalah kebodohan karena dianggap berpaling dari Tuhan yang disembah mereka. Adapun Tuhan yang mutlak tidak memberi lapangan tertentu pada sesuatu karena Dia sendiri adalah ain-nya sesuatu itu”. Dengan demikian menurut pandangan Ibnu Arabi, Tuhan itu bukan hanya terbatas pada Tuhannya orang Islam, tetapi juga meliputi Tuhannya setiap agama. Sebab pada hakikatnya, setiap yang disembah itu adalah Tuhan juga. Bila sebelumnya pertentangan antara ulama fiqih dengan kaum sufi berada pada puncaknya pada abad III Hijriyah melalui Al-Hallaj, maka dengan munculnya sosok Ibnu Arabi ini, pertentangan lama kembali bangkit dengan hebatnya. Terkait Al-Hallaj, kemungkinan besar masih dapat dimaafkan atau minimal dimaklumi adanya karena perkataan yang diucapkannya itu dalam keadaan sakar mabuk kepayang meski pada akhir hayatnya ia dihukum mati. Namun untuk Ibnu Arabi, yang dipandang sebagai seorang yang berilmu, berfilsafat, dan bertasawuf, maka para ulama fiqih tidak dapat membiarkannya begitu saja. Banyak para ulama besar yang menentang paham tasawuf milik Ibnu Arabi ini melalui fatwa-fatwanya, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Khaldun, Ibnu Hajar Al-Aqshalani, Ibrahim Al-Biqa’i[3]. 5. Tasawuf di Tanah Persia Masuknya agama Islam di tanah Persia dengan sendirinya telah berjasa mengembangkan kebudayaan, kesenian, dan kesusastraan bangsa Persia. Begitu halnya dengan tasawuf, yang berkembang cepat dan menjadi bahan atau sendi yang tidak dapat dipisahkan lagi dari perkembangan seluruh tasawuf Islam. Boleh dikatakan bahwa setelah bahasa Arab, bahasa Persia juga berperan penting dan besar pengaruhnya dalam membantuk tasawuf dan filsafat Islam serta pandangan hidup mereka. Islam tumbuh dan memiliki corak ke-Persia-annya sejak abad ketiga Hijriyah. Dalam perkembangannya, filsafat dan tasawuf di Persia menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Arab dan bahasa Pahlevi Persia. Pengaruh tasawuf di Persia ini cukup besar, dan berkembang hingga ke Turki, India, dan Afghanistan. Sampai sekarang yang kurang lebih tahun lebih kebudayaan Persia-Islam masih hidup dengan suburnya. Berkat perkembangan kebudayaan di Persia lah, banyak muncul para ulama besar, filsuf terkenal, serta para sastrawan, seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, serta ahli bahasa yang bernama Sibawaihi. Singkatnya, dalam perkembangan tasawuf, Persia telah memberikan jasa yang besar, bahkan ada yang mengatakan bahwa ilmu tasawuf belum mencapai tingkat kepuasan bila belum mendalami tasawuf dari Persia. Hubungan antara Islam-kebudayaan Persia yang terjalin erat di masa lalu akhirnya putus setelah Persia sekarang Iran mendeklarasikan dirinya menggunakan paham Syi’ah sebagai mazhab kerajaan/Negara. Padahal mayoritas umat Islam di dunia menganut paham Ahlus Sunnah. Namun sekali lagi, pengaruh tasawuf Persia amat besar dalam dunia Islam. Di Indonesia sendiri, pengaruh tasawuf Persia lebih dahulu datang daripada pengaruh tasawuf atau ajaran Islam dari tanah Arab. Thariqat yang terkenal di Indonesia, thariqat Naqsyabandiyah, adalah salah satu thariqat tasawuf yang berasal dari Persia. Kata Naqsyabandi’ sendiri berasal dari bahasa Persia. Kebanyakan ajaran-ajaran tasawuf di Persia ini dalam bentuk syair, yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf di tempat-tempat lain. Adapun para tokoh sufi dari Persia antara lain Abu Said 258 H/827 M – 440 H/1049 M, Jalaluddin Rumi 604 H/1217 M – 672 H/1273 M, Abdullah Al-Anshari 396 H/1066 M – 481 H, Majdudin Sinai w. 545 H/1221 M, Fariduddin Al-Athar, Hafiz Al-Syirazi, Abdurrahman Al-Jami. Abu Said 258 H/827 M – 440 H/1049 M adalah seorang sufi pertama dalam tasawuf Persia. Ia berasal dari Khurasan, dan mula-mula belajar Al-Qur’an dan bahasa Arab di kampungnya, kemudian pindah ke kota Marwa untuk mempelajari ilmu fiqih dengan seorang yang bernama Abu Abdullah dan Abu Bakar Al-Qaffal. Selanjutnya pindah ke kota Sarkhas untuk mendalami ilmu-ilmu lain seperti tafsir, hadits, dan ushul fiqih dengan Abu Ali Zahir bin Ahmad, dan terakhir ia kembali mempelajari sufi di bawah bimbingan Abu Fadhal. Terkait tasawuf, Abu Said selalu menggunakan dalil Al-Qur’an dan Hadits, dan juga syair-syair dalam ceramah-ceramahnya. Ia adalah seorang yang pertama mendirikan halaqah dzikir dengan cara menari-nari. Karena perbuatannya itulah, dia dilaporkan oleh ulama Naisabur kepada Sultan di Gaznah. Sultan juga mengundang para ulama dari mazhab Syafi’i dan Hanafi untuk mengevaluasi ajaran Abu Said, namun Abu Said terbebas dari hukuman. Tokoh sufi terkenal selanjutnya, Jalaluddin Rumi 604 H/1217 M – 672 H/1273 M, adalah seorang sufi besar sekaligus pujangga hebat di masanya. Ia memiliki nama lengkap maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Muhammad bin Husin Al-Khathbi Al-Bakri. Ia dilahirkan di Balkh Persia, dan pada usia empat tahun ia dibawa ayahnya ke Asia kecil Romawi. Itulah sebabnya identitasnya memakai nama Rumi’. Sama dengan Abu Said, ia memiliki paham Wihdatul Wujud. Di samping itu, ia memiliki teori Evolusi, persis teori yang dicetuskan oleh Charles Darwin. Hanya saja perbedaannya, Jalaluddin Rumi mengakui adanya Allah. Ia telah menulis kitab tasawuf yang bernama Matsnawi’, berupa kumpulan syair-syair yang terdiri dari bait syair. Kitab tersebut terdiri dari enam jilid, yang semuanya itu merupakan pendiriannya tentang tasawuf yang berdasarkan paham Wihdatul Wujud. Selain itu, paham-paham tasawuf Jalaluddin Rumi antara lain a. Alam dan Tuhan Jalaluddin Rumi memiliki teori Evolusi, yang menurutnya alam itu berevolusi. Asal mula sesuatu itu dari zarrah atom, kemudian meningkat menjadi tumbuh-tumbuhan, kemudian naik lagi menjadi hewan, lalu naik lagi menjadi manusia, lalu dari manusia naik menjadi malaikat, setelah itu kelak langsung fana’ ke dalam Allah, akhirnya menjadi baqa’. Kematian menurutnya hanya semata-mata perpindahan menuju suatu tingkat ke tingkat selanjutnya. Disinilah maka dapat diketahui paham Wihdatul Wujud-nya Jalaluddin Rumi, yakni apabila fana’ tercapai maka kekallah baqa’ alam itu dengan Tuhan. Atau singkatnya, mati itu hanya perpindahan bentuk alam menuju fana’ ke dalam Tuhan. b. Nyawa Kaum sufi termasuk Jalaluddin Rumi memahami bahwasanya nyawa/ruh ini datang dari alam lain ke dunia, dan terkurung dalam badan/jasmani di bumi. Nyawa yang terperangkap atau terpenjara di dalam jasad ini suatu saat akan kembali ke tempat asalnya QS. 89 27-28. c. Takdir dan Ikhtiar Pandangannya tentang takdir dan ikhtiar sangat berbeda dengan pendapat mayoritas ahli tasawuf lainnya, yang lebih mendekati paham Jabariyyah fatalisme. Menurut Jalaluddin Rumi, seseorang itu tidak boleh menyerah dan tunduk begitu saja dengan takdir itu. Hidup itu harus terus diperjuangkan. Manusia dihidupkan di dunia ini dengan penuh kebebasan. Dia mesti berusaha sendiri dengan mengisi kebahagiaan hidupnya dan memberi nilainya. Terkait kemunduran tasawuf di tanah Persia, suatu ketika berdirilah Kerajaan Safawi pada tahun 907 H/1502 M. kerajaan ini berhasil menyatukan seluruh negeri Persia di bawah satu pemerintahan besar yang bergelar Syahin Syah’ Sri Maharaja diraja. Ketika kerajaan dipimpin oleh Syah Ismail, ia menyatakan bahwa mazhab resmi kerajaan adalah Syi’ah. Ia sangat membenci hal-hal yang berbau Ahlus Sunnah. Sebagai dampaknya, ia juga membenci tasawuf. Ia menyarankan kepada semua ahli sufi ketika mengarang syair, hendaklah memasukkan segala hal yang menyangkut propaganda Syi’ah, seperti memuja-muja Husein. Meski begitu, kebencian Syi’ah terhadap para sufi yang begitu dalam membuat banyak ahli sufi yang dikejar-kejar. Banyak ulama Ahlus Sunnah dan ahli sufiyah yang disiksa dan dibunuh. Dari sinilah yang kemudian tasawuf di Persia semakin berkurang dan hilang[1]. 6. Tasawuf Pada Abad Kedelapan Hijriyah Masa Menurunnya Tasawuf Pada masa ini terlihat tanda-tanda keruntuhan tasawuf kian jelas, yang disebabkan seringnya terjadi penyelewengan dan pemikiran ganjil dalam diri kaum sufi dan sekaligus mengancam kehancuran reputasi baik ilmu tasawuf. Tasawuf pada waktu itu telah termasuki bid’ah, khurafat, mengabaikan syari’at, hukum-hukum moral, dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, membentengkan diri dari dukungan awam untuk menghindarkan diri dari rasionalitas, azimat dan ramalan serta kekuatan gaib ditonjolkan. Ada masa ini, muncullah revivalis Islam, Syaikh Ibnu Taimiyah w. 727 H/1329 M, yang dengan lantang menyerang penyelewengan-penyelewengan para sufi tersebut. Dia dikenal kritis, peka terhadap lingkungan sosialnya, polemis dan berusaha meluruskan ajaran Islam yang telah diselewengkan para sufi tersebut. Ibnu Taimiyah melancarkan kritik terhadap ajaran Ittihad, Hullul, dan Wahdat Al–Wujud sebagai ajaran yang menuju kekufuran atheisme. Ibnu Taimiyah membagi fana’ menjadi tiga bagian fana’ ibadah, fana’ syuhud al-qalb, dan fana’ wujud ma siwa Allah. Terhadap fana’ pertama dan kedua, masih dalam batas kewajaran, baik ditinjau dari segi psikologis maupun agamis. Sedangkan fana’ ketiga dianggap menyeleweng dari ajaran Islam dan dianggap kufur. Ibnu Taimiyah cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan Rasulullah Saw, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti aliran thariqah tertentu sebagaimana manusia pada umumnya. Tasawuf model ini yang cocok untuk dikembangkan di masa modern sekarang. Penyebab mundurnya tasawuf di dunia Islam pada abad ini antara lain a. Pada masa itu adalah masa suram-suramnya cahaya perasaan dan pemikiran karena ada rasa keputusasaan dalam dunia Islam. Hal ini dikarenakan Baghdad sebagai jantungnya ilmu pengetahuan telah dihancurkan oleh bangsa Mongol. Ditambah lagi kekuasaan Islam berpindah ke Asia Kecil Turki oleh Turki Utsmani. Sejak itulah pelita timur lambat laun redup. b. Bangsa Barat mengalami zaman Renaissance yang mendorong kemajuan bangsa Barat dalam mengambil alih peradaban dunia. c. Umat Islam hanya bertaklid dalam segala bidang ilmu, yaitu menurut saja kepada apa yang ditulis dan dijelaskan oleh orang-orang terdahulu. Tidak hanya tasawuf, kondisi taklid ini juga terjadi pada beberapa bidang ilmu, seperti ilmu fiqih, Al-Qur’an, hadits, dan teologi kalam. Lebih lanjut dengan semakin surutnya perkembangan tasawuf pada abad VIII Hijriyah ini, maka tidak ada lagi pemikiran baru dalam dunia tasawuf. Meski ada beberapa ahli sastrawan sufi seperti Al-Kassyani atau Al-Kisani w. 739 H/1321 M yang telah banyak menulis buku-buku tentang tasawuf, namun dia tidak mengeluarkan pendapat yang baru. Ada pula seorang sufi besar pada abad ini yang bernama Abdul Karim Al-Jaili, seorang pengarang kitab Insan Kamil’. Isi bukunya sempat membuat gempar para ulama fiqih, karena isinya memperindah konsep-konsep pikiran Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Di dalam abad kesepuluh Hijriyah, muncul kembali seorang sufi yang besar di Mesir, yaitu Abdul Wahab Sya’rani. Ia memiliki banyak karangan, namun sebagian besar isinya sulit diterima oleh rasa, harus memakai akal. Kemudian di abad keduabelas Hijriyah, muncul kembali seorang sufi yang bernama Abdul Ghani An-Nablusi w. 1143 H/1735 M, seorang pengikut Ibnu Arabi[1]. DAFTAR RUJUKAN Al-Barsany, Noer Iskandar. 2001. Tasawuf Tarekat Para Sufi Jakarta Raja Grafindo Persada. Hamka. 1980. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta Yayasan Nurul Islam. Sjukur, Asjwadie. 1978. Ilmu Tasawuf 1. Surabaya Bina Ilmu. Syukur, Amin dan Masyharuddin. 2002. Intelektualisme Tasawuf. Yogyakarta Pustaka Pelajar CATATAN KAKI FOOTNOTE [1] Ibid, hlm. 188-193. [1] Ibid, hlm. 160-187. [1] Amin Syukur dan Masyharuddin, hlm. 25-28; dan Asjwadie Sjukur. hlm. 60. [2] Hamka, hlm. 140-143 [3] Ibid, hlm. 143-151. [1] Ibid, hlm. 55-56. [2] Amin Syukur dan Masyaruddin, hlm. 25-26. [3] Asjwadie Sjukur. hlm. 56. [4] Hamka, hlm. 123-136; dan Asjwadie Sjukur. hlm. 55-59. [1] Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 21-23. [2] Lihat Asjwadie Sjukur, hlm. 42; dan Amin Syukur dan Masyaruddin, hlm. 24-25. [3] Hamka, hlm. 93-95. [4] Hamka, hlm. 96-97; dan Asjwadie Sjukur. hlm. 44-45. [5] Asjwadie Sjukur. hlm. 45-46. [6] Ibid, hlm. 49-55. [1] Ibid, hlm. 39-40. [2] Ibid, hlm. 40-41. [3] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya Jakarta Yayasan Nurul Islam, 1980, hlm. 78-79. [1] Asjwadie Sjukur, Ilmu Tasawuf 1 Surabaya Bina Ilmu, 1978, hlm. 32-35. [2] Ibid, hlm. 35-39. [1] Ibid. [1] Lihat Noer Iskandar Al-Barsany, Tasawuf Tarekat Para Sufi Jakarta Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 8-14. [2] Ibid.
SECARA historis tasawuf adalah pemandu perjalanan hidup umat manusia agar selamat dunia dan akhirat. Hal itu karena tasawuf menjadi salah satu khazanah intelektual muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan. Tidaklah berlebihan jika misi utama kerasulan Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Sejarah juga mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang baru muncul setelah masa sahabat dan tabi’in, tidak muncul pada masa Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa nabi kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat pada masa itu sangat stabil. Selain itu, dari sudut pandang akal, jasmani, dan rohani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya prakmatisme, materialisme, dan hedonisme. Tasawuf sebagai sebuah gerkan perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Nabi, para sahabat, dan para tabi’in pada hakikatnya sudah sufi. Mereka mempraktekkan selalu terhadap hal-hal yang tidak pernah mengagungkan kehidupanm dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat kepada Allah sebagai sang khaliq. Setelah kekuasaan Islam makin meluas dan terjadi perubahan sejarah yang fenomenal paska nabi dan sahabat. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani dan budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf sekitar abad ke 2 hijriyah. Gerakan tasawuf bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Menurut pengarang Kasaf al-Dzunnum, orang yang pertama kali dijuluki al-sufi adalah Abu Hasyim Al-sufi. Pada masa Rasulullah SAW Islam tidak mengenal aliran tasawuf, dan pada masa sahabat dan tabi’in generasi setelah sahabat mereka itu menuntut ilmu dari para sahabat. Kemudian datang setelah masa tabi’in suatu kaum yang mengaku zuhud yang berpakain shuff pakaian dari bulu domba. Maka karena pakaian inilah mereka mendapat julukan sebagai nama bagi mereka yaitu sufi dengan nama tarekatnnya tasawuf. Salah satu argumen yang mengatakan bahwa tasawuf sudah ada pada masa Rasulullah SAW adalah perilaku nabi yang sering melakukan tahannus di Gua Hiro sebelum turunnya wahyu. Pertapaan tersebut dilakukan rasul sebagai sebuah upaya untuk menenangkan jiwa, menyucikan diri sebagai persiapan untuk menerima sabda yang agung yaitu wahyu Al- Qur’an. Dalam proses itu rasul melakukan riyahah dengan bekal secukupnya, pakaian sederhana yang jauh dari kemewahan dunia. Setelah menjalani proses tersebut jiwa rasul telah mencapai tingkat spiritual yang benar-benar siap menerima wahyu dari Jibril. Memasuki abad ke tiga dan ke empat hijriyah tasawuf kembali menjalani babak baru. Pada masa ini tema yang di angkat para sufi lebih mendalam. Berawal dari perbincangan seputar akhlak dan pekerti, mereka mulai ramai membahas tentang hakikat Tuhan, esensi manusia serta hubungan antara keduanya dan dari sini muncul tema-tema semacam makrifat, fana, zauq. Dari realitas ini dapat disimpulkan bahwa tasawuf mulai menemukan identitasnya. Tasawuf mulai berkembang dan menjafi satu disiplin ilmu yang berbeda dengan fiqih, tafsir, hadits dan kalam. Memasuki abad ke 6 dan ke 7 hijriyah tasawuf kembali menemukan suatu bentuk pengalaman baru. Bersentuhan tasawuf dengan filsafat berhasil mencetak tasawuf menjadi lebih filosofis yang kemudian dikenal dengan istilah teosofi. Dari sinilah kemudian muncul 2 parian tasawuf, sunni dengan coraknya amali dan falsafi dengan corak iluminatifnya.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Dahlan Syukursyukurdahlan2 PJJPAI IAIN SYEKH NURJATI CIREBON ABSTRAKArtikel ini membahas tentang perkembangan ilmu tasawuf dari klasik hingga modern. Tasawuf klasik, abad pertengahan, dan modern memiliki perbedaan dalam teori dan praktik, namun tetap memperhatikan aspek-aspek spiritual dan kehidupan mistik. Pada masa tasawuf klasik, fokus lebih pada pengalaman spiritual dan kehidupan mistik, sedangkan pada masa tasawuf abad pertengahan, tasawuf menjadi lebih terorganisir dan memperoleh pengakuan dari kalangan ulama dan penguasa. Pada masa tasawuf modern, tasawuf menjadi lebih terbuka dan lebih diterima oleh masyarakat. Para tokoh tasawuf modern lebih banyak menulis tentang aplikasi tasawuf dalam kehidupan modern dan memperhatikan keseimbangan antara praktik spiritual dan aktivitas dunia. Meskipun mengalami perubahan seiring waktu, tasawuf tetap menjadi salah satu cabang penting dalam Pendahuluan Tasawuf merupakan cabang penting dalam Islam yang memperhatikan aspek-aspek spiritual dan kehidupan mistik. Disiplin ilmu ini memiliki sejarah yang panjang dan berkembang dari masa ke masa. Dalam artikel ini, akan dibahas tentang perkembangan ilmu tasawuf dari klasik hingga modern. Perkembangan tasawuf selama ini menunjukkan adanya perubahan dalam teori dan praktik, namun tetap memperhatikan prinsip-prinsip dasar tasawuf yang selalu relevan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas mengenai perkembangan tasawuf pada masa klasik, abad pertengahan, dan modern serta perbedaan antara ketiganya. Diharapkan artikel ini dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang tasawuf dan bagaimana disiplin ilmu ini terus berkembang dan relevan dalam kehidupan Metode PenelitianMetode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah studi literatur. Studi literatur dilakukan dengan cara membaca dan menganalisis berbagai sumber informasi yang terkait dengan perkembangan ilmu tasawuf dari klasik hingga modern, seperti buku, jurnal, dan artikel online. Dalam melakukan studi literatur, dilakukan analisis terhadap informasi yang ditemukan dengan memperhatikan konteks sejarah dan pengaruhnya terhadap perkembangan tasawuf dari masa ke masa. Selain itu, informasi yang ditemukan juga dibandingkan dan dikontras untuk menunjukkan perbedaan dan kesamaan antara perkembangan tasawuf pada masa klasik, abad pertengahan, dan modern. Dengan metode studi literatur, diharapkan artikel ini dapat memberikan pemahaman yang komprehensif dan akurat mengenai perkembangan ilmu tasawuf dari klasik hingga modern. 1 2 3 4 5 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris Islam, sebagai perwujudan dari ihksan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhannya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah Saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam yang lahir belakangan, sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Adapun tasawuf amali sendiri, dipahami sebagai ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada perilaku yang baik, dalam kaitannya dengan amalan ibadah kepada Allah. Di dalamnya ditekankan tentang bagaimana melakukan hubungan dengan Allah melalui dhikir atau wirid yang terstruktur dengan harapan memperoleh ridla Allah Swt. Tasawuf amali merupakan tasawuf yang mengedepankan mujahadah, dengan menghapus sifatsifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dengan segenap esensi diri hanya kepada Allah Swt. Sejarah dan perkembangan tasawuf amali> mengalami beberapa fase, yaitu yang dimulai sejak abad kesatu dan kedua Hijriyah, di mana tasawuf masih bersifat praktis belum ada konsep-konsep tasawuf secara terpadu; abad ketiga Hijriyah; abad keempat Hijriyah; abad kelima Hijriyah; abad keenam Hijriyah, di mana para sufi mengembangkan tasawuf dalam bentuk institusi tarekat, yang kemudian berkembang pesat sampai sekarang. Kata Kunci Tasawuf, akhlak, amali Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 59Taufiqur Rahman, Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali 59-73SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF AMALITaufiqur Rahman*Abstrak Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris Islam, sebagai perwujudan dari ihksan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhannya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah Saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam yang lahir belakangan, sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Adapun tasawuf amali sendiri, dipahami sebagai ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada perilaku yang baik, dalam kaitannya dengan amalan ibadah kepada Allah. Di dalamnya ditekankan tentang bagaimana melakukan hubungan dengan Allah melalui dhikir atau wirid yang terstruktur dengan harapan memperoleh ridla Allah Swt. Tasawuf amali merupakan tasawuf yang mengedepankan mujahadah, dengan menghapus sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dengan segenap esensi diri hanya kepada Allah Swt. Sejarah dan perkembangan tasawuf amali> mengalami beberapa fase, yaitu yang dimulai sejak abad kesatu dan kedua Hijriyah, di mana tasawuf masih bersifat praktis belum ada konsep-konsep tasawuf secara terpadu; abad ketiga Hijriyah; abad keempat Hijriyah; abad kelima Hijriyah; abad keenam Hijriyah, di mana para sufi mengembangkan tasawuf dalam bentuk institusi tarekat, yang kemudian berkembang pesat sampai sekarang. Kata Kunci Tasawuf, akhlak, amali* Dosen InstitutIlmu Keislaman Zainul Hasan Genggong 60Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 1, Januari 2019PendahuluanAllah menciptakan manusia di muka bumi adalah untuk menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi. Tidak terlepas dari fitrahnya ini, Allah Swt menganugerahkan dua potensi penting dalam diri manusia, yaitu akal dan nafsu. Allah Swt memberikan akal kepada manusia agar mereka mampu dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang benar dalam bertindak, bertingkah laku, berbuat ataupun bekerja. Sementara nafsu adalah sebuah pemicu bagi tingkat pekerjaan yang dilakukan oleh akal, sehingga nafsu ini dapat menjadi nafsu yang baik, yakni nafsu yang dilatih untuk menghindar dari perbuatan-perbuatan yang tercela dan membawa dosa, dan nafsu yang buruk, yakni nafsu yang dilatih untuk melakukan perbuatan-perbuatan dosa dan ahli sufi memiliki pendapat bahwa hawa nafsu dapat menjadi tabir penghalang untuk dapat dekat dengan Allah Swt. Hal yang seperti ini akan terjadi ketika diri seseorang telah dikendalikan oleh hawa nafsu. Hawa nafsu yang seperti ini akan membawa manusia cenderung memuja kenikmatan duniawi. Hingga pada akhirnya bukanlah kenikmatan kehidupan akherat yang dijadikan tujuan utama dalam hidup, melainkan kenikmatan dunialah yang dijadikan tujuan utama dalam mencapai keberhasilan alasan pentingnya membentengi diri dari hal-hal yang munkara>t itulah dibutuhkan sebuah metode yang aplikatif untuk memperoleh ketenangan dan kebahagiaan jiwa yang bersifat batiniyah, yaitu tasawuf. Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhannya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah Saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam yang lahir belakangan, sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu Tasawuf Amali>Istilah Tasawuf dalam Islam sebenarnya pada masa nabi Muhammad Saw belum ada. Tidak mengherankan apabila kata sufi dan tasawuf 61Taufiqur Rahman, Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali 59-73dikaitkan dengan kata-kata arab sebagai berikut11. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Sebab kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadah, terutama shalat dan puasa. 2. S{aff baris. Yang dimaksud S{aff di sini ialah baris pertama dalam shalat di masjid. S{aff pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke masjid dan banyak membaca ayat suci al-Qur’an dan berdhikir sebelum waktu shalat Ahl al-S{huffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah, tinggal di masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai s}uffah pelana sebagai bantal. Sungguhpun tidak memiliki apa-apa, mereka berhati baik dan tidak mementingkan Sophos bahasa Yunani yang masuk ke dalam filsafat Islam, yang berarti hikmah atau S{u>f kain wol. Dalam dunia tasawuf kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan barang mewah yang bisa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari antara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai kata asal sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang pertama yang memakai kata sufi adalah Abu> Ha>shi>m al-Ku>fi di Irak H.2Adapun pengertian tasawuf secara istilah, banyak para ahli yang berbeda pendapat sesuai seleranya masing-masing. Menurut al-Jurairi, “Tasawuf adalah masuk ke dalam segala budi akhlaq yang mulia dan keluar dari budi pekerti yang rendah”. Menurut Ma’ru>f al-Khurki, “Tasawuf adalah mengambil hakikat dan tidak berharap terhadap apa yang ada di tangan makhluk”. Sedangkan menurut al-Junaidi, “Tasawuf adalah membersihkan hati dari dari apa saja yang mengganggu perasaan 1 Lihat M. Solihin, Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf Bandung CV. Pustaka Setia, 2008, 11-132 Abd al-Hakim Abd al-Ghani Qasim, Al-Madzahib al-Shufiyah wa Madarisuha, Maktabah Madbuli, 1989, 12 62Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 1, Januari 2019makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal insting kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat kesucian rohani, bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, menaburkan nasihat kepada semua orang, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat, dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syariat”3 Adapun tasawuf amali> sendiri, maka dapat dipahami sebagai ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada perilaku yang baik, dalam kaitannya dengan amalan ibadah kepada Allah. Di dalamnya ditekankan tentang bagaimana melakukan hubungan dengan Allah melalui dhikir atau wirid yang terstruktur dengan harapan memperoleh ridla Allah Swt. Tasawuf amali> merupakan tasawuf yang mengedepankan muja>hadah, dengan menghapus sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dengan segenap esensi diri hanya kepada Allah Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali>Pada mulanya, tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna institusi-institusi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabiin, kecenderungan pandangan orang terhadap ajaran Islam secara lebih analitis mulai muncul. Ajaran Islam mereka dapat dipandang dari dua aspek, yaitu lahiriyah seremonial dan aspek batiniah spiritual, atau apek luar dan aspek dalam. Pendalaman dan pengamalan aspek “dalamnya” mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, tentunya tanpa mengabaikan aspek luarnya” yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, lebih mementingkan keagungan Tuhan dan bebas dari egoisme. Sejarah dan perkembangan tasawuf mengalami beberapa fase sebagai berikut53 Ibid., 14-154 Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf Wonosobo AMZAH, 2005, 2635 Lihat M. Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2008, 61-67 63Taufiqur Rahman, Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali 59-731. Abad Kesatu dan Kedua HijriyahBenih-benih tasawuf sudah ada sejak zaman kehidupan Nabi Saw. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad Saw. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari ia berkhalwat di gua H{ira’ terutama pada bulan Ramad}a>n. Di sana Nabi banyak berdhikir dan bertafakkur untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan Nabi di gua H{ira’ merupakan acuan utama para sufi dalam berkhalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu, setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad-abad periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabi’in sekitar abad I dan II H. Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah dari masa sebelumnya. Konflik-konflik sosial politik yang bermula dari masa Uthman bin Affan berkepanjangan sampai masa-masa sesudahnya. Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok Bani Umayyah, Shi’ah, Khawarij, dan masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah-khalifah Bani Umayyah secara bebas berbuat kezaliman-kezaliman, terutama terhadap kelompok Shi’ah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya. Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi T{alib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti-hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwa>bi>n orang-orang yang bertaubat. Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaum Tawwa>bi>n itu dipimpin oleh Mukhtar 6 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal Ila> al-Tashawwuf Fi> al-Isla>m Kairo Da>r al-Thaqa>fah, 1976, 78 64Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 1, Januari 2019bin Ubaid al-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 samping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosial pun terjadi. Hal ini mempunyai pengaruh yang besar dalam pertumbuhan kehidupan beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat, secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana. Ketika Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan, hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi di kalangan istana. Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi Saw dan sahabat utama, dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja-raja Romawi. Dalam situasi demikian kaum muslimin yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud8, sederhana, saleh,dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Di antara para penyeru tersebut ialah Abu Dzar al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam perubahan-perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi Saw dan para sahabatnya. Mereka mulai merenggangkan diri dari kehidupan mewah. Sejak saat itu kehidupan zuhud menyebar luas di kalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut za>hid, atau karena ketekunan mereka beribadah, maka disebut a>bid atau na> yang tersebar luas pada abad-abad pertama dan kedua Hijriyah terdiri atas berbagai aliran yaitu10a. Aliran Madinah Sejak masa yang dini, di Madinah telah muncul para za>hid. Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya. Di antara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-Jarrah H., Abu Dzar al-Ghiffari w. 22 H., Salman al-Farisi w. 32 H., 7 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal Ila al-Tashawwuf Fi al-Islam........, 80-818 Zuhud adalah berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan ber-khalwat, berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir kepada Allah Ibid., 8210 Ibid., 83-95 65Taufiqur Rahman, Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali 59-73Abd Allah ibn Mas’ud w. 33 H., Hudzaifah ibn Yaman w. 36 H.. Sementara itu dari kalangan tabi’in di antaranya adalah Sa’id ibn al-Musayyad w. 91 H. dan Salim ibn Abd Allah w. 106 H.. Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimin salaf, dan berpegang teguh pada zuhud serta kerendah hatian Nabi. Selain itu aliran ini tidak begitu terpengaruh perubahan-perubahan sosial yang berlangsung pada masa dinasti Umayyah, dan prinsip-prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat tekanan dari Bani Umayyah. Dengan begitu, zuhud aliran ini tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada ajaran-ajaran Aliran Bas}rah Louis Massignon mengemukakan dalam artikelnya “Tashawwuf” dalam Ensiklopedie de Islam, bahwa pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua aliran zuhud yang menonjol. Salah satunya di Bashrah dan yang lainnya di Kufah. Menurut Massignon orang-orang Arab yang tinggal di Bashrah berasal dari Bani> Tami>m. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal-hal yang riil. Merekapun terkenal menyukai hal-hal logis dalam nahwu, hal-hal nyata dalam puisi dan kritis dalam hal hadith. Mereka adalah penganut aliran Ahl al-Sunnah, tapi cenderung pada aliran-aliran Mu’tazilah dan Qadariyyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Bas}ri, Malik ibn Dinar, Fad}l al-Raqqashi, Rabbah ibn Amru al-Qishi, S{{alih al-Murni atau Abd al-Wahid ibn Zaid, seorang pendiri kelompok asketis di Abadan. Corak yang menonjol dari para za>hid Bashrah ialah zuhud dan rasa takut yang Aliran Kufah Aliran Kufah menurut Louis Massignon, berasal dari Yaman. Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal-hal aneh dalam nahwu, imajinasi dalam puisi, dan harfiah dalam hal hadith. Dalam akidah mereka cenderung pada aliran Shi’ah, sebab aliran Shi’ah pertama kali muncul di Kufah. Para tokoh za>hid Kufah pada abad pertama Hijriyah ialah al-Rabi’ ibn Khathim w. 67 H., sedangkan pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Sa’id ibn Jubair w. 95 H., Thawus ibn Kisan w. 106 H., Sufyan al-Thauri w. 161 H. 11 Ibid., 85 66Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 1, Januari 2019d. Aliran Mesir Pada abad-abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain, yaitu aliran Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu, misalnya Amr ibn al-As}, Abd Allah ibn Amr ibn al-As yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad. Tokoh-tokoh za>hid Mesir pada abad pertama Hijriyah di antaranya adalah Salim ibn ’Atar al-Tajibi. Dia pernah menjabat sebagai hakim di Mesir, dan meninggal di Dimyath tahun 75 H. Tokoh lainnya adalah Abd Al-Rahman ibn Hujairah w. 83 H. menjabat sebagai hakim agung Mesir tahun 69 H. Sementara tokoh za>hid yang paling menonjol pada abad II Hijriyyah adalah al-Laits ibn Sa’ad w. 175 H.. Kezuhudan dan kehidupannya yang sederhana sangat terkenal. Menurut ibn Khallikan, dia seorang za>hid yang hartawan dan dermawan. Dari uraian tentang zuhud dengan berbagai alirannya, baik dari aliran Madinah, Bashrah, Kufah, Mesir ataupun Khurasan, baik pada abad I dan II Hijriyyah dapat disimpulkan bahwa zuhud pada masa itu mempunyai karakteristik sebagai berikut1. Zuhud ini berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari adzab neraka. Ide ini berakar dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkena dampak berbagai kondisi sosial politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika Bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis zuhud. Zuhud ini mengarah pada tujuan Motivasi zuhud ini ialah khauf, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriyyah, di tangan Rabi’ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa takut terhadap Menjelang akhir abad II Hijriyyah, sebagian za>hid khususnya di Khurasan dan pada Rabi’ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf atau sebagai cikal bakal para sufi abad ketiga dan 67Taufiqur Rahman, Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali 59-73keempat Hijriyyah. Al-Taftazani lebih sependapat kalau mereka dinamakan za>hid, qa>ri’ dan na>sik bukan sufi. Sedangkan Nicholson memandang bahwa zuhud ini adalah tasawuf yang paling dini. Terkadang Nicholson memberi atribut pada para za>hid ini dengan gelar “para sufi angkatan pertama”.12e. Abad Ketiga Hijriyah Sejak abad ketiga Hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral di tengah terjadinya dekadensi yang berkembang ketika itu, sehingga di tangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktikkan semua orang. Kesederhanaannya dapat dilihat dari kemudahan landasan-landasan atau alur berpikirnya. Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengamalan Islam dalam praktik yang lebih menekankan keterpujian akhlaq manusia. Mereka melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilkan akhlak-akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran Islam yang mereka nilai banyak mengandung muatan anjuran untuk berakhlak terpuji. Kondisi ini mulai berkembang di tengah kehidupan lahiriyah yang sangat formal dan cenderung kurang diterima oleh mereka yang mendambakan konsistensi pengamalan ajaran Islam sampai pada aspek mendalam. Oleh karena itu, ketika menyaksikan ketidakberesan perilaku akhlak di sekitarnya, mereka menanamkan kembali akhlak mulia. Pada abad ketiga terlihat perkembangan tasawuf yang pesat, ditandai dengan adanya segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki ajaran tasawuf yang berkembang masa itu. Mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu13a. Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, yaitu tasawuf yang berisi suatu metode yang lengkap tentang pengobatan jiwa, yang mengonsentrasikan kejiwaan manusia kepada kha>liq-nya, 12 Ibid., 106-10713 M. Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf............, 63-64 68Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 1, Januari 2019sehingga ketegangan kejiwaan akibat pengaruh keduniaan dapat teratasi dengan Tasawuf yang berintikan ilmu akhlak; yaitu di dalamnya terkandung petunjuk-petunjuk tentang cara berbuat baik serta cara menghindarkan keburukan, yang dilengkapi dengan riwayat dari kasus yang pernah dialami oleh para sahabat Tasawuf yang berintikan metafisika; yaitu di dalamnya terkandung ajaran yang melukiskan hakikat Ilahi, yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak serta melukiskan sifat-sifat Tuhan, yang menjadi alamat bagi orang-orang yang tajalli>14 Abad Keempat Hijriyah Abad ini ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan abad ketiga Hijriyah, karena usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Akibatnya kota Baghdad yang hanya satu-satunya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa itu, tersaingi oleh kota-kota besar lainnya. Upaya untuk mengembangkan ajaran tasawuf di luar kota Baghdad, dipelopori oleh beberapa ulama tasawuf yang terkenal kealimannya, antara laina. Mu>sa> al-Ans}ary; mengajarkan tasawuf di Khurasan Persia atau Iran, ia wafat di sana tahun 320 Abu> H{a>mid bin Muhammad al-Ruba>zy; mengajarkannya di salah satu kota Mesir, ia wafat di sana tahun 322 Abu> Zaid al-Adamy; mengajarkannya di Semenanjung Arabiyah, ia wafat di sana tahun 314 Abu> Ali> Muhammad bin Abd al-Wahha>b al-Saqafy; mengajarkannya di Naisabur dan kota Sharaz, hingga ia wafat tahun 328 Dalam pengajaran tasawuf di berbagai negeri dan kota, para ulama tersebut menggunakan sistem tarekat t}ari>qah, sebagaimana yang 14 Tajalli adalah tahap yang dapat ditempuh oleh seorang hamba ketika ia sudah mampu melalui tahap Takhalli dah Tahalli. Tajalli adalah lenyapnya atau hilangnnya hijab dari sifat kemanusiaan atau terangnya nur yang selama itu tersembunyi, atau fana segala sesuatu selain Allah, ketika nampak wajah M. Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf............,64 69Taufiqur Rahman, Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali 59-73dirintis oleh ulama tasawuf pendahulunya. Sistem tersebut berupa pengajaran dari seorang guru terhadap murid-muridnya yang bersifat teoretis serta bimbingan langsung mengenai cara pelaksanaannya yang disebut “sulu>k” dalam ajaran tasawuf. Sistem pengajaran tasawuf yang sering disebut tarekat, diberi nama yang sering dinisbatkan kepada nama penciptanya gurunya, atau sering pula dinisbatkan kepada lahirnya kegiatan tarekat tersebut. Ciri-ciri lain yang terdapat pada abad ini, ditandai dengan semakin kuatnya unsur filsafat yang memengaruhi corak tasawuf, karena banyaknya buku filsafat yang tersebar di kalangan umat Islam dari hasil terjemahan orang-orang muslim sejak zaman permulaan Dinasti Abbasiyah. Pada abad ini pula mulai dijelaskannya perbedaan ilmu zahir dan ilmu batin, yang dapat dibagi oleh ahli tasawuf menjadi empat macam, yaitu16a. Ilmu shari>’ah17b. Ilmu t}ari>qah18c. Ilmu h}aqi>qah19d. Ilmu ma’rifah2016 Ibid., 6517 Shari>’ah adalah segala ketentuan agama yang sudah ditetapkan oleh Allah untuk hamba-Nya. Bagi orang-orang Sufi, Shari>’ah adalah kualitas amal lahir-formal yang ditetapkan dalam ajaran agama melalui al-Qur’an dan Sunnah. Sebab itu, dapat dikatakan bahwa Shari>’ah adalah ilmu ibadah yang cenderung hanya menyentuh aspek lahir manusia dan tidak menyentuh aspek batin T{ari>qah menurut istilah tasawuf adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang Sufi dalam mencapai tujuan, berada sedekat mungkin dengan Tuhan. T{ari>qah adalah jalan yang ditempuh para Sufi dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari shari’at, sebab jalan utama disebut shar’, sedangkan anak jalan disebut dengan t}ariq. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa T{ari>qah adalah cabang dari Shari>’ah yang merupakan pangkal dari suatu H{aqi>qah adalah kebenaran yang bersifat esensial. Makna h}aqi>qah menunjukkan kebenaran esoteris yang merupakan batas-batas dari transendensi manusia dan teologis. H{aqi>qah merupakan unsur ketiga setelah Shari>’ah hukum yang merupakan kenyataan eksoteris, T{ari>qah jalan sebagai tahapan esoterisme, dan yang ketiga adalah H}aqi>qah, yakni kebenaran yang Ma’rifah adalah pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang Tuhan yang diperoleh melalui sanubari. al- Ghazali secara terperinci mengemukakan pengertian ma’rifat ke dalam hal-hal berikut 1 Ma’rifat adalah mengenal rahasia-rahasia Allah dan aturan-aturan-Nya yang melingkupi seluruh yang ada; 2 Seseorang yang sudah sampai pada ma’rifat berada dekat dengan Allah, bahkan ia dapat memandang wajah- 70Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 1, Januari 2019g. Abad Kelima Hijriyah Pada abad kelima ini muncullah Imam al-Ghaza>li>, yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang berdasar al-Quran dan al-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, Ia melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. al-Ghaza>li>-lah yang berhasil memancangkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah, dan bertentangan dengan tasawuf al-H{alla>j dan Abu> Yazi>d al-Bust} Tasawuf pada abad kelima Hijriyah cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya kepada landasan al-Quran dan al-Sunnah. Al-Qushairi dan al-Harawi dipandang sebagai tokoh sufi yang paling menonjol pada abad ini, yang memberi bentuk tasawuf Sunni. Kitab al-Risa>lah al-Qushairiyyah memperlihatkan dengan jelas bagaimana al-Qushairi mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahl al-Sunnah. Dalam penilaiannya ia menegaskan bahwa para tokoh sufi aliran ini membina prinsip-prinsip tasawuf di atas landasan-landasan tauhid yang benar, sehingga doktrin mereka terpelihara dari berbagai bentuk Tokoh lainnya yang seirama dengan al-Qushairi adalah Abu> Isma>’il al-Ans}>ari, yang sering disebut al-Harawi. Ia mendasarkan tasawufnya pada doktrin Ahl-Sunnah. Ia bahkan dipandang sebagai penggagas aliran pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapannya shat}aha>t, seperti al-H{alla>j dan Abu> Yazi>d al-Bust}ami. Dengan demikian, abad kelima Hijriyah merupakan tonggak yang menentukan bagi kejayaan tasawuf amali> sunni. Pada abad tersebut, tasawuf ini tersebar luas di kalangan dunia Islam. Pondasinya begitu dalam terpancang untuk jangka waktu lama pada berbagai lapisan masyarakat Abad Keenam Hijriyah Sejak abad keenan Hijriyah, sebagai akibat pengaruh kepribadian al-Nya; 3 Ma’rifat datang sebelum Abu al-Wafa al Taftazani, Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islami......,18222 M. Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf......., 66 71Taufiqur Rahman, Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali 59-73Ghaza>li> yang begitu besar, pengaruh tasawuf amali> semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokoh sufi yang mengembangkan tarekat-tarekat dalam rangka mendidik para muridnya, seperti Sayyid Ah}mad al-Rifa>’i> w. 570 H dan Sayyid Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni> w. 651 H.23 Sesudah abad ini tidak ada lagi tokoh-tokoh besar yang membawa ide tersendiri dalam hal pengetahuan tasawuf, kalau memang ada hal itu hanyalah sebagai seorang pengembang ide para tokoh pendahulunya. Tasawuf amali>, sebagaimana dituturkan al-Qushairi dalam al-Risa>lah-nya, diwakili para tokoh sufi dari abad ketiga dan keempat Hijriyah, Imam al-Ghaza>li> dan para pemimpin tarekat yang mengikutinya. al-Ghaza>li> dipandang sebagai pembela terbesar tasawuf amali>, yang seiring dengan al-Qushairi dan al-H{arawi. Namun dari segi kepribadian, keluasan pengetahuan dan kedalaman tasawuf al-Ghaza>li> lebih besar dibanding semua tokoh-tokoh tasawuf yang ada. Ia sering diklaim sebagai seorang sufi terbesar dan terkuat pengaruhnya dalam khasanah ketasawufan di dunia pembahasan tentang sejarah perkembangan tasawuf amali> pada makalah ini, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, antara lain1. Tasawuf amali> dipahami sebagai ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada perilaku yang baik dalam kaitannya dengan amalan ibadah kepada Allah. Di dalamnya ditekankan tentang bagaimana melakukan hubungan dengan Allah melalui dhikir atau wirid yang terstruktur dengan harapan memperoleh rid}a Allah Swt. Tasawuf amali> merupakan tasawuf yang mengedepankan muja>hadah, dengan menghapus sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dengan segenap esensi diri hanya kepada Allah Sejarah dan perkembangan tasawuf amali> mengalami beberapa fase, yaitu23 Ibid., 67 72Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 1, Januari 2019a. Abad kesatu dan kedua Hijriyah, tasawuf masih berupa perilaku zuhud yang didasari rasa khauf dan masih bersifat praktis belum ada konsep-konsep tasawuf secara terpadu.b. Abad ketiga Hijriyah, kata tasawuf mulai digunakan. Orang ahli ibadah sebelumnya disebut a>bid atau na>sik, pada abad ini disebut sebagai Abad keempat Hijriyah, perkembangan tasawuf semakin pesat dan munculnya istilah shari’at, tarekat, hakikat dan ma’rifat, sebagai penjelasan perbedaan ilmu lahir dan ilmu Abad kelima Hijriyah, adanya pemancangan ajaran tasawuf sesuai dengan prinsip-prinsip Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah oleh Imam al-Ghaza>li>.e. Abad keenam Hijriyah, munculnya para sufi yang mengembangkan tasawuf dalam bentuk institusi tarekat, yang kemudian berkembang pesat sampai sekarang. 73Taufiqur Rahman, Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali 59-73Daftar PustakaAqib, Kharisudin, Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Surabaya PT. Bina Ilmu, al, Abd al-Wafa>, al-Tafta>zani. Madkhal Ila> al-Tashawwuf al-Isla>mi>. al-Qa>hirah Da>r al-Thaqafah, al, Abd, Abd al-Ghani> Qa>sim. Al-Madzahib Al-Shufiyah Wa Madarisuha>. Maktabah Madbuli, Abd al-Kari>m al-Qushairi. Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, Cet. I. Jakarta Pustaka Amani, Totok, Munir Amin Samsul. Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosobo AMZAH, Syaifan, Alim Roswantoro. Peta Kecenderungan Kajian Agama-Agama Dan Filsafat Islam Pada Program Pascasarjana. Jogjakarta Sukses Offset, M, Rosihan Anwar. Ilmu Tasawuf. Bandung CV. Pustaka Setia, 2008. ... Bukankah pilihan yang dijalani para sahabat tersebut bisa menjadi contoh sikap ketika melihat perkembangan modernisme yang berujung pada gaya materialis, hedonis, borjuis. Sebab jika ditilik sejarah ajaran-ajaran tasawuf bersumber dari kehidupan Nabi dan para sahabat dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur Taufiqur Rahman, 2019. ... Imam KhoiriThe sparkling "progress" of modernism looks very majestic and luminous. Modernization is the process of changing traditional society into a modern society, marked by changes in economic, social, and political systems. The changes that brought progress were reversed with the condition of modern human spirituality which experienced drought and decline. Therefore, a Sufism approach is needed that cultivates the heart, taste, and soul and balances the rational and experimental approaches that develop in modern society. The purpose of this study is to describe Ibn 'Athaillah al-Sakandari's views on uzlah and to analyze the suitability of uzlah in today's times. This is a qualitative research that uses a literature study approach. The analytical method used is the content analysis technique. The results of this study indicate that the uz that was written by Ibn Athaillah was not a form of activity that was carried out throughout life, but was limited to taking time to isolate oneself from the crowd. Because that way you can use meditation to the fullest. Uzlah is also an effort for modern humans to reflect and think about problems and find solutions in life so that they can get closer to Allah. Because the result of uzlah is not leaving the affairs of the world, but being able to live it with responsibility, discipline and upholding God's commands. The results of this research are expected to be practical in order to maintain the freshness of spirituality and TotokJumantoro Totok, Munir Amin Samsul. Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosobo AMZAH, Kecenderungan Kajian Agama-Agama Dan Filsafat Islam Pada Program PascasarjanaNur SyaifanAlim RoswantoroNur Syaifan, Alim Roswantoro. Peta Kecenderungan Kajian Agama-Agama Dan Filsafat Islam Pada Program Pascasarjana. Jogjakarta Sukses Offset, 2007.
sejarah perkembangan tasawuf dari abad 1 sampai 10